mangkya darajating praja - kawuryan wus sonya ruri - rurah pangrehing ngukara - karana tanpa palupi - ponang parameng kawi - kawileting tyas maladkung - kungas kasudranira - tidem tandaning dumadi - ardayeng rat dening karoban rubeda - R Ng Ranggawarsita - adapun martabat negara - kini terlihat sunyi senyap - aturan dan bahasa kacau - sedangkan para penyair - dibenam sesapan duka cinta - habis sudah keberanian mereka - padam sudah tanda-tanda kehidupan - dunia terasa disesaki petaka

Rabu, 29 Februari 2012

Kalender Jawa dan Misi Restorasi Budaya

PARA raja Nusantara di masa silam meninggalkan warisan karya adiluhung yang masih dapat dinikmati dan diapresiasi anak cucu hingga kini. Raja Sultan Agung (1613-1645) yang mewarisi kerajaan Mataram dari tiga pendahulunya, antara lain Panembahan Senapati (1587-1601), Panembahan Hanyakrawati (1601-1613), dan Adipati Martapura (1613-hanya sehari bertahta) misalnya, berhasil menciptakan sistem almanak atau kalender khas Jawa. Selanjutnya, sistem penanggalan hasil karya cipta Sultan Agung disebut Kalender Sultan Agungan. Sebelumnya, masyarakat Jawa menggunakan penanggalan tahun Saka, yang lazim digunakan dalam ajaran Hindu Jawa dan menggunakan dasar perhitungan solar (orbit matahari). Sultan Agung mengkreasi melalui misi adopsi budaya dengan sistem almanak Islam (Hijriah) yang menggunakan dasar perhitungan lunar (orbit bulan).
Dengan demikian, Sultan Agung benar-benar cerdas dan luwes. Para pujangga mengabadikan nama Sultan Agung sebagai narendra gung binathara, bau dhendha nyakrawati, ambeg adil paramarta, mamayu hayuning bawana, yang berarti sebagai pemimpin besar penuh wibawa, memegang keadilan, menjunjung hukum, dan senantiasa menjaga keselarasan dunia. Dalam hubungannya dengan kultur dan ideologi asing (non-Jawa) di masa itu, Sultan Agung lebih bersikap terbuka dengan strategi akulturasi budayanya. Karena itu, ia mampu meramu dua budaya dan ajaran, yaitu Hindu (India) dan Islam (Arab melalui saudagar India) ke pangkuan budaya Jawa induk kultur primordialnya. Kalender Sultan Agungan merupakan manifestasi dari hasil paduan tiga budaya besar dan luhur tersebut. Sikap Sultan Agung ini juga mencerminkan strategi politik kebudayaan Mataram dalam hubungannya sebagai musuh Kumpeni Belanda. Karena itu, sikap politik Sultan Agung yang lebih kultural-humanis justru lebih mencerminkan keberhasilannya secara kultural dalam menghimpun kekuatan legitimasi dari pemangku kultur Islam, Hindu, dan Jawa (Nusantara). Strategi tersebut ditempuh setelah Sultan Agung mengevaluasi kegagalannya menghancurkan Batavia pada 1628. Meski menuai kekalahan, namun penyerangan Mataram saat itu menandai sikap Sultan Agung yang antikolonial. Lebih dari itu, pasukan Mataram berhasil menghabisi Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen atau yang dijuluki Mur Jangkung pada 20 September 1629, meski oleh pihak VOC secara diplomatis dikatakan penyebab kematian Jan Pieter karena penyakit kolera.
Dalam sejarahnya, Sultan Agung mulai menyusun sistem perhitungan penanggalan tersebut pada 1 Sura tahun Alip bertepatan angka tahun 1555, yang pada masa itu bersamaan perhitungan kalender Islam jatuh pada 1 Muharram 1043 atau dalam perhitungan kalender Masehi jatuh pada 8 Juli 1633. Pemberian nama awal bulan dengan nama Sura (dibaca “Suro”) menurut Suryo Negoro, Upacara Tradisional dan Ritual Jawa (2001), dapat dirujuk dari dua bahasa. Pertama, dari kata “Asyura”, yang berarti hari kesepuluh bulan Muharram yang memuat serangkaian peristiwa bersejarah dari yang telah dialami para Nabi. Kedua, dari frasa “Mesu Salira” yang bila dikupas, dua kata itu terdiri “mesu” dam “salira” berarti “mati raga” atau berpuasa sebagai ikhtiar atau laku sesirik (berpantang terhadap sesuatu).
Selain mengubah sistem penanggalan, Sultan Agung juga mengadaptasi sistem penamaan bulan dan hari, yaitu dari lafal Islam dan Sansekerta menjadi berlafal Jawa. Pada perhitungan hari misalnya, Sultan Agung benar-benar menciptakan sendiri secara otentik sehingga perhitungan dan namanya juga khas Jawa, yaitu Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Demikian pula dilengkapi wuku dan perhitungan windu (delapan tahunan), yakni Wawu, Jimakir, Alip. Ehe, Jimawal, Je, Dal, dan Be. Sedangkan penetapan tanggal 1 Sura 1945 tahun ini diawali pukul 16.00 WIB (di Pulau Jawa) hari Minggu Wage Tahun Wawu bertepatan 1 Muharram 1433 H dan jatuh pada 27 November 2011 dalam kalender Masehi. Kelak, kalender Sultan Agungan ini berakhir pada pukul 15.59 WIB tangal 16 November 2012.
Restorasi Budaya dan Kearifan Lokal
Lalu, bagaimana kita dapat mengapresiasi karya Sultan Agung di era globalisasi informasi saat ini? Beruntunglah kita saat ini karena Keraton Yogyakarta menerbitkan kalender Sultan Agungan. Kalender tersebut diluncurkan pada 5 September 2011 lalu bertepatan peringatan Amanat 5 September 1945. Kebijakan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan penerbitan kalender Sultan Agungan tentu menjadi momentum kultural yang bernilai historis. Upaya tersebut kiranya menjadi bagian dari misi Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam ikhtiarnya untuk merestorasi budaya dan kearifan lokal. Sekaligus, upaya tersebut melambangkan sebuah sistem gerak budaya dan perjuangan dari para pengemban dan pewaris nilai-nilai adiluhung di masa silam. Dengan diterbitkannya kembali sistem penanggalan khas produk kreativitas dan intelektualitas raja Mataram di era Sultan Agung, kiranya membuktikan betapa cerdas dan luwes pemimpin bangsa di masa silam. Artinya, Sultan Agung tidak hanya menunjukkan eksistensinya sebagai penguasa namun juga sebagai pujangga dan pencipta produk kultural yang kreatif.
Sultan Agung tentu tidak bersikap setengah-setengah dalam berakulturasi dengan beragam budaya dan ideologi asing. Ia melakukannya dengan penuh totalitas. Pada awal abad ke-17 itu sudah cukup majemuk budaya dan ideologi yang masuk ke tanah Jawa, khususnya yang berada dalam radius kekuasaan Mataram. Pada masa itu sudah ada Hindu, Buddha, Islam, serta Nasrani yang dibawa kolonial Belanda. Namun, Sultan Agung mampu merangkul, kecuali yang secara politis membawa misi penaklukan seperti yang digencarkan oleh VOC alias Kumpeni. Maksud dari totalitas sikap Sultan Agung, kiranya dapat dicermati dari kreativitas budayanya yang lain, seperti garebeg Sekaten pada bulan Mulud (Rabiulawal). Melalui momentum garebeg tersebut, Sultan Agung memberi kesempatan kepada umat Islam untuk melakukan syiar atau sosialisasi ajaran Islam. Tidak terkecuali peringatan menyambut tanggap warsa atau tahun baru yang jatuh pada 1 Sura atau 1 Muharram menandakan sikap toleran Sultan Agung kepada rakyat Mataram dan siapa pun yang berniaga dan hidup di wilayah Mataram pada masa itu.
Hasil kreasi Sultan Agung lainnya adalah petangan Jawi atau perhitungan penanggalan Jawa dari siklus wuku (pawukon). Bahkan, sistem tersebut dilengkapi watak hari dalam perlambangan tertentu. Ada kemungkinan kreativitas tersebut diilhami dari warisan sistem almanak di era sebelumnya, yaitu dari ajaran Hindu-Jawa yang lazim dikenal sebagai primbon. Konon, menurut Karkono Kamajaya, primbon merupakan kompilasi dari catatan yang dihimpun berdasarkan pengalaman alamiah dari leluhur atau nenek moyang yang mayoritas menganut ajaran Hindu dan merangkumnya sebagai produk kultural yang khas Hindu-Jawa. Sehingga, kita sebagai generasi penerus yang hidup di alam yang telah mengalami perubahan iklim secara global saat ini dapat mempelajarinya sebagai produk kultural dari peradaban nenek moyang kita. Catatan-catatan dalam primbon yang dapat digolongkan sebagai firasat atau isyarat tersebut bukan berarti memiliki kebenaran mutlak, karena rujukannya didasarkan pengalaman alamiah nenek moyang tersebut.
Bila kita mencermati kalender Sultan Agungan hasil keluaran Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, kita seakan-akan dibimbing untuk melatih sistem berpikir atau berdialektika dari yang selama ini kita pergunakan. Kita juga bagai diajak menggunakan perspektif baru, bahkan meskipun yang tertera di kalender tersebut seperti hanya menginformasikan agenda Keraton Yogyakarta dalam hitungan satu tahun ke depan, yang berangka tahun 1945 dengan candra sengkala “Yogya Karta Gatraning Nagara”. Namun, pada saat bersamaan, kita bagai merasa memiliki kekayaan dari harta karun peninggalan leluhur kita di masa silam. Misalnya, sistem penanggalan yang dieksplorasi dari kultur agraris berupa deskripsi singkat pranata mangsa (perkiraan musim) dan agenda pemerintahan “Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat”. Beberapa agenda Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat yang dijadwalkan dalam kalender Sultan Agungan tersebut adalah khaul atau memule mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang jatuh pada 21 Sapar (16 Desember 2011), rangkaian acara Sekaten pada Mulud (Januari 2012), Tingalan Dalem Tahunan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 29 Bakdamulud (23 Maret 2012), peringatan berdirinya Nagari Dalem (Ngayogyakarta Hadiningrat) pada 29 Jumadilawal (21 April 2012), labuhan, nyadran, dan garebeg Besar (Idul Adha) serta sejumlah pernik rangkaian acara khas Jawa-Mataram Islam lainnya. (R. Toto Sugiharto)