mangkya darajating praja - kawuryan wus sonya ruri - rurah pangrehing ngukara - karana tanpa palupi - ponang parameng kawi - kawileting tyas maladkung - kungas kasudranira - tidem tandaning dumadi - ardayeng rat dening karoban rubeda - R Ng Ranggawarsita - adapun martabat negara - kini terlihat sunyi senyap - aturan dan bahasa kacau - sedangkan para penyair - dibenam sesapan duka cinta - habis sudah keberanian mereka - padam sudah tanda-tanda kehidupan - dunia terasa disesaki petaka

Rabu, 29 Februari 2012

Kalender Jawa dan Misi Restorasi Budaya

PARA raja Nusantara di masa silam meninggalkan warisan karya adiluhung yang masih dapat dinikmati dan diapresiasi anak cucu hingga kini. Raja Sultan Agung (1613-1645) yang mewarisi kerajaan Mataram dari tiga pendahulunya, antara lain Panembahan Senapati (1587-1601), Panembahan Hanyakrawati (1601-1613), dan Adipati Martapura (1613-hanya sehari bertahta) misalnya, berhasil menciptakan sistem almanak atau kalender khas Jawa. Selanjutnya, sistem penanggalan hasil karya cipta Sultan Agung disebut Kalender Sultan Agungan. Sebelumnya, masyarakat Jawa menggunakan penanggalan tahun Saka, yang lazim digunakan dalam ajaran Hindu Jawa dan menggunakan dasar perhitungan solar (orbit matahari). Sultan Agung mengkreasi melalui misi adopsi budaya dengan sistem almanak Islam (Hijriah) yang menggunakan dasar perhitungan lunar (orbit bulan).
Dengan demikian, Sultan Agung benar-benar cerdas dan luwes. Para pujangga mengabadikan nama Sultan Agung sebagai narendra gung binathara, bau dhendha nyakrawati, ambeg adil paramarta, mamayu hayuning bawana, yang berarti sebagai pemimpin besar penuh wibawa, memegang keadilan, menjunjung hukum, dan senantiasa menjaga keselarasan dunia. Dalam hubungannya dengan kultur dan ideologi asing (non-Jawa) di masa itu, Sultan Agung lebih bersikap terbuka dengan strategi akulturasi budayanya. Karena itu, ia mampu meramu dua budaya dan ajaran, yaitu Hindu (India) dan Islam (Arab melalui saudagar India) ke pangkuan budaya Jawa induk kultur primordialnya. Kalender Sultan Agungan merupakan manifestasi dari hasil paduan tiga budaya besar dan luhur tersebut. Sikap Sultan Agung ini juga mencerminkan strategi politik kebudayaan Mataram dalam hubungannya sebagai musuh Kumpeni Belanda. Karena itu, sikap politik Sultan Agung yang lebih kultural-humanis justru lebih mencerminkan keberhasilannya secara kultural dalam menghimpun kekuatan legitimasi dari pemangku kultur Islam, Hindu, dan Jawa (Nusantara). Strategi tersebut ditempuh setelah Sultan Agung mengevaluasi kegagalannya menghancurkan Batavia pada 1628. Meski menuai kekalahan, namun penyerangan Mataram saat itu menandai sikap Sultan Agung yang antikolonial. Lebih dari itu, pasukan Mataram berhasil menghabisi Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen atau yang dijuluki Mur Jangkung pada 20 September 1629, meski oleh pihak VOC secara diplomatis dikatakan penyebab kematian Jan Pieter karena penyakit kolera.
Dalam sejarahnya, Sultan Agung mulai menyusun sistem perhitungan penanggalan tersebut pada 1 Sura tahun Alip bertepatan angka tahun 1555, yang pada masa itu bersamaan perhitungan kalender Islam jatuh pada 1 Muharram 1043 atau dalam perhitungan kalender Masehi jatuh pada 8 Juli 1633. Pemberian nama awal bulan dengan nama Sura (dibaca “Suro”) menurut Suryo Negoro, Upacara Tradisional dan Ritual Jawa (2001), dapat dirujuk dari dua bahasa. Pertama, dari kata “Asyura”, yang berarti hari kesepuluh bulan Muharram yang memuat serangkaian peristiwa bersejarah dari yang telah dialami para Nabi. Kedua, dari frasa “Mesu Salira” yang bila dikupas, dua kata itu terdiri “mesu” dam “salira” berarti “mati raga” atau berpuasa sebagai ikhtiar atau laku sesirik (berpantang terhadap sesuatu).
Selain mengubah sistem penanggalan, Sultan Agung juga mengadaptasi sistem penamaan bulan dan hari, yaitu dari lafal Islam dan Sansekerta menjadi berlafal Jawa. Pada perhitungan hari misalnya, Sultan Agung benar-benar menciptakan sendiri secara otentik sehingga perhitungan dan namanya juga khas Jawa, yaitu Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Demikian pula dilengkapi wuku dan perhitungan windu (delapan tahunan), yakni Wawu, Jimakir, Alip. Ehe, Jimawal, Je, Dal, dan Be. Sedangkan penetapan tanggal 1 Sura 1945 tahun ini diawali pukul 16.00 WIB (di Pulau Jawa) hari Minggu Wage Tahun Wawu bertepatan 1 Muharram 1433 H dan jatuh pada 27 November 2011 dalam kalender Masehi. Kelak, kalender Sultan Agungan ini berakhir pada pukul 15.59 WIB tangal 16 November 2012.
Restorasi Budaya dan Kearifan Lokal
Lalu, bagaimana kita dapat mengapresiasi karya Sultan Agung di era globalisasi informasi saat ini? Beruntunglah kita saat ini karena Keraton Yogyakarta menerbitkan kalender Sultan Agungan. Kalender tersebut diluncurkan pada 5 September 2011 lalu bertepatan peringatan Amanat 5 September 1945. Kebijakan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan penerbitan kalender Sultan Agungan tentu menjadi momentum kultural yang bernilai historis. Upaya tersebut kiranya menjadi bagian dari misi Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam ikhtiarnya untuk merestorasi budaya dan kearifan lokal. Sekaligus, upaya tersebut melambangkan sebuah sistem gerak budaya dan perjuangan dari para pengemban dan pewaris nilai-nilai adiluhung di masa silam. Dengan diterbitkannya kembali sistem penanggalan khas produk kreativitas dan intelektualitas raja Mataram di era Sultan Agung, kiranya membuktikan betapa cerdas dan luwes pemimpin bangsa di masa silam. Artinya, Sultan Agung tidak hanya menunjukkan eksistensinya sebagai penguasa namun juga sebagai pujangga dan pencipta produk kultural yang kreatif.
Sultan Agung tentu tidak bersikap setengah-setengah dalam berakulturasi dengan beragam budaya dan ideologi asing. Ia melakukannya dengan penuh totalitas. Pada awal abad ke-17 itu sudah cukup majemuk budaya dan ideologi yang masuk ke tanah Jawa, khususnya yang berada dalam radius kekuasaan Mataram. Pada masa itu sudah ada Hindu, Buddha, Islam, serta Nasrani yang dibawa kolonial Belanda. Namun, Sultan Agung mampu merangkul, kecuali yang secara politis membawa misi penaklukan seperti yang digencarkan oleh VOC alias Kumpeni. Maksud dari totalitas sikap Sultan Agung, kiranya dapat dicermati dari kreativitas budayanya yang lain, seperti garebeg Sekaten pada bulan Mulud (Rabiulawal). Melalui momentum garebeg tersebut, Sultan Agung memberi kesempatan kepada umat Islam untuk melakukan syiar atau sosialisasi ajaran Islam. Tidak terkecuali peringatan menyambut tanggap warsa atau tahun baru yang jatuh pada 1 Sura atau 1 Muharram menandakan sikap toleran Sultan Agung kepada rakyat Mataram dan siapa pun yang berniaga dan hidup di wilayah Mataram pada masa itu.
Hasil kreasi Sultan Agung lainnya adalah petangan Jawi atau perhitungan penanggalan Jawa dari siklus wuku (pawukon). Bahkan, sistem tersebut dilengkapi watak hari dalam perlambangan tertentu. Ada kemungkinan kreativitas tersebut diilhami dari warisan sistem almanak di era sebelumnya, yaitu dari ajaran Hindu-Jawa yang lazim dikenal sebagai primbon. Konon, menurut Karkono Kamajaya, primbon merupakan kompilasi dari catatan yang dihimpun berdasarkan pengalaman alamiah dari leluhur atau nenek moyang yang mayoritas menganut ajaran Hindu dan merangkumnya sebagai produk kultural yang khas Hindu-Jawa. Sehingga, kita sebagai generasi penerus yang hidup di alam yang telah mengalami perubahan iklim secara global saat ini dapat mempelajarinya sebagai produk kultural dari peradaban nenek moyang kita. Catatan-catatan dalam primbon yang dapat digolongkan sebagai firasat atau isyarat tersebut bukan berarti memiliki kebenaran mutlak, karena rujukannya didasarkan pengalaman alamiah nenek moyang tersebut.
Bila kita mencermati kalender Sultan Agungan hasil keluaran Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, kita seakan-akan dibimbing untuk melatih sistem berpikir atau berdialektika dari yang selama ini kita pergunakan. Kita juga bagai diajak menggunakan perspektif baru, bahkan meskipun yang tertera di kalender tersebut seperti hanya menginformasikan agenda Keraton Yogyakarta dalam hitungan satu tahun ke depan, yang berangka tahun 1945 dengan candra sengkala “Yogya Karta Gatraning Nagara”. Namun, pada saat bersamaan, kita bagai merasa memiliki kekayaan dari harta karun peninggalan leluhur kita di masa silam. Misalnya, sistem penanggalan yang dieksplorasi dari kultur agraris berupa deskripsi singkat pranata mangsa (perkiraan musim) dan agenda pemerintahan “Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat”. Beberapa agenda Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat yang dijadwalkan dalam kalender Sultan Agungan tersebut adalah khaul atau memule mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang jatuh pada 21 Sapar (16 Desember 2011), rangkaian acara Sekaten pada Mulud (Januari 2012), Tingalan Dalem Tahunan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 29 Bakdamulud (23 Maret 2012), peringatan berdirinya Nagari Dalem (Ngayogyakarta Hadiningrat) pada 29 Jumadilawal (21 April 2012), labuhan, nyadran, dan garebeg Besar (Idul Adha) serta sejumlah pernik rangkaian acara khas Jawa-Mataram Islam lainnya. (R. Toto Sugiharto)

Kamis, 05 Mei 2011

Sesobek Catatan Harian Jurnalis

Berpuluh masa Warta menempuh hidup di jalan pena

belum cukup banyak ia mereguk tinta

tapi beribu tempat ia singgahi, beribu watak ia kenali

tiba waktunya ia bertemu petani di pelosok dusun

nun di puncak gunung berapi

sampailah ia pada abstraksi: dunia Warta serupa dunia petani

bukalah blocknote-nya, periksa salah satu catatan hariannya



Mata bajak mengolah tanah, menyuburkan sawah

tempat benih padi dan palawija disemai, dirawat, dan dituai

Mata pena mengungkap fakta, melaporkan kebenaran di lembaran koran – majalah,

layar televisi, situs dunia maya, dan gelombang radio siaran

Mata pembaca menelisik akurasi

Mata hatinya mendeteksi independensi



Asah mata penamu dengan sebongkah kejujuran dan tinta keberimbangan

ia akan menguat, menajam – tak mudah patah dan berkarat

seperti buah padi dan palawija yang benihnya dirawat dengan cinta dan kesabaran petani



Industri informasi bukanlah pabrik kata-kata, siasat retorika, dan muslihat diplomasi

pun, mesin robot pabrik masih butuh tangan-tangan manusia yang menakarnya dengan perasaan, pikiran, dan perhitungan-perhitungan



Maka, beri kami ruang buat berkumpul, berserikat

beri kami waktu buat membangun kubu

tempat kami berbagi asa, menimbang hak dan kewajiban

tempat kami mengoreksi kerja



Dan, tempat engkau menghitung laba dan memberi nilai kami punya prestasi

tempat engkau menimbang kembali:

industri media bukan keranjang sampah masalah orang bermasalah



Kami berani jamin, berita, analisis – gambar, foto dari pena, kamera, dan suara kami tak akan basi

ia akan aktual sepanjang masa karena setiap pikiran dan peristiwa yang menjadi serpihan-serpihan sejarah

akan selalu dikenang di masa kemudian



Berkumpul, berserikat bukan untuk menggunjing dan apalagi merongrong

sebaliknya, dari keluh dan gunjingan bisa jadi berakibat kebangkrutan…!



Yogyakarta, May Day 2011

Salam Serikat,



R. Toto Sugiharto

Senin, 10 Januari 2011

RPA Suryanto Sastroatmodjo: Kematian Terindah Pejuang Budaya

oleh R. Toto Sugiharto
kebudayaan berasal dari hati, bukan dari nalar
-RPA Suryanto Sastroatmodjo

RPA (Raden Panji Anom) Suryanto Sastroatmodjo (60) terbaring di kamar kontrakannya –Jalan Nagan Lor 21, Yogyakarta, di antara berkas yang berserakan dan amben reot dengan kasur yang lapuk. Pejuang budaya itu sudah berpulang ke Pangkuan Ilahi, Selasa Kliwon, 17 Juli 2007 pukul 10.00 tiga tahun silam. Suryanto wafat dalam sunyi, ketika zaman dan situasi semakin “menyembilu hati” – ungkapan khas Chairil Anwar – ini pernah dilontarkan oleh almarhum beberapa pekan sebelum meninggal.
Untuk kali pertama saya melihat keadaan kamar almarhum. Pengap dan lembab. Bahkan, terungkap pula ada bangkai seekor kucing kesayangan almarhum yang menemani. Suryanto – yang juga dikenal kawan-kawan di komunitasnya dengan panggilan Mas Kanjeng – mengenakan t’shirt coklat motif bergaris horisontal dan celana panjang coklat. Ia bagai menyunggingkan senyum. Ketika kami mengangkat tubuhnya untuk dimandikan, jasadnya masih lemas dan terasa sisa hangat yang menguap di kain seprei tertindih punggungnya. Suryanto yang acap dipanggil mas Kanjeng itu memang sudah wafat. Serangan jantung sebagai penyebabnya.
Dahulu, selama delapan tahun kami bersahabat, belum satu kali pun saya menjenguk isi kamarnya. Saya hanya mengetuk pintunya dari luar, di antara kamar mandi, kakus, dan sumur. Suryanto memberi tanda khas di bagian pengait gembok. Tapi, jangan dibayangkan gemboknya terbuat dari baja dan berkunci, alih-alih Suryanto hanya “mengunci”-nya dengan batang sikat gigi. Bila di pengait gembok itu tiada sikat gigi, artinya Suryanto ada di dalam kamar itu. Kemudian Suryanto menerima kami di emperan depan rumah milik Pak Tris, sahabat dan kawan kuliahnya.
Suryanto telah mencapai kematian terindah. Sebab, almarhum masih berkesempatan mengerahkan energi kreatifnya yang terakhir kalinya. Yakni, dengan tetap menggelar forum macapatan Dharma Sri Winahya semalam sebelum ajal merenggutnya. Almarhum berhasil memertahankan forum macapatan hingga ajal menjemputnya telah memasuki tahun kesepuluh. Selama bergaul dengan almarhum, saya tidak mampu membayangkan, betapa besar energi yang dibutuhkan oleh seorang pejuang budaya seperti Suryanto. Forum macapatan yang dikelolanya di hotel Inna Garuda Yogyakarta memang hanya digelar setiap selapan – atau 35 hari – sekali. Tetapi, kenyataannya Suryanto selalu terbuka menerima tamu atau siapa pun yang datang untuk berbagai dan berbagi kepentingan. Bisa dikata waktu dua puluh empat jam sehari tidak cukup bagi Suryanto untuk melayani masyarakat –dari kalangan awam maupun seniman. Sampai-sampai untuk sekadar mencari tempat istirahat pun almarhum membeli tiket bioskop di Indra Theatre dan bukannya nonton film hot, melainkan tidur pulas.
Saya pernah mencoba mengikuti gaya hidup almarhum, antara lain dengan menemaninya tidur di emperan yang berlantai keramik, tapi saya tidak kuat menjalani “kegilaan” semacam itu. Saya pikir, hanya penyair Sri Wintala Achmad yang masih bertahan pada gaya hidup ala Suryanto. Dan, memang Wintala tetap setia menemani Suryanto bahkan sempat juga menemani almarhum berziarah ke makam Kotagede, di ujung hayat almarhum.
***
Kebudayaan yang diperjuangkan Suryanto adalah kebudayaan rakyat. Karena, kebudayaan yang lazimnya diekspresikan melalui karya seni adalah milik setiap kepala. Lebih-lebih kebudayaan lokal. Bagi Suryanto, estetika adalah nonsense karena ia lebih sebagai abstraksi dan rasionalisasi. Padahal, kebudayaan adalah sebuah ekspresi yang bersumber dari kedalaman hati guna mencapai emansipasi, liberasi, dan transendensi. Maka Suryanto selalu melibatkan setiap orang, apa pun profesi formalnya. Dalam komunitas macapatan ada sais andong, pengemudi becak, guru, spiritualis, abdi dalem, pengelola warung, ibu rumah tangga, ataupun pekerja sosial. Bagi Suryanto, jangan memandang orang dari jabatan, gelar, ataupun status sosialnya, melainkan pandanglah orang dari apa yang dikatakan dan dikerjakannya.
Jauh sebelum saya intens bergaul dengan Suryanto –peraih anugerah Bintang Emas Bhakti Budaya dari Pusat Kebudayaan Jawa Surakarta pada 1995, saya sebenarnya sudah mengenal Suryanto melalui karya-karyanya. Baru setelah saya satu kantor di Harian Bernas (1997-2004) kami lebih intens bertemu dan berkomunikasi. Semakin dalam pergaulan kami, semakin saya terpukau kepadanya. Saya banyak belajar tentang kesabaran, kejujuran, keikhlasan, mengelola rahasia, dan menghargai orang lain. Dan, lebih dari segalanya, Suryanto adalah mata air inspirasi –baik untuk materi jurnalistik maupun olah literer. Sepanjang berjalan-jalan dengan almarhum, saya acap memeroleh momen puitik. Salah satunya ketika kami menyaksikan peristiwa seorang gadis bunuh diri minum obat nyamuk di sebuah hotel di kawasan Pasar Kembang, Yogyakarta pada 2001, yang meletikkan imajinasi saya untuk menulis cerpen “Sebilah Cahaya”. Kisah dalam cerpen saya adalah tentang gadis yang berencana bunuh diri terjun dari ketinggian hotel bertingkat di waktu senja.
Novel saya “Owel” -- meraih juara harapan Lomba Fiksi Sosial Nasional 2005 dengan tema “Warna Lokal Bantul” yang digelar Dewan Kebudayaan Bantul, Institut Kebudayaan Selatan, dan Pemerintah Kabupaten Bantul -- juga terinspirasi dari penafsiran Suryanto atas kisah Ki Ageng Mangir. Bahkan, saya memersembahkan novel “Owel” sebagai “dongeng buat Mas Kanjeng”. Adapun perihal Ki Ageng Mangir versi Suryanto pernah disampaikannya dalam sebuah seminar bersama G Moedjanto dan Bondan Nusantara bertema Babad Mangir. Suryanto melontarkan pernyataan kontroversial, bahwa Ki Ageng Mangir tidak tewas akibat dibunuh Panembahan Senopati. Tokoh pemberontak –berdasarkan perspektif Senopati, itu hanya “dihabisi secara tekstual” dan dilucuti gelar dan atribut kepriayiannya.
Suryanto –yang menerima anugerah gelar dan nama KRT (Kanjeng Raden Tumenggung) Surya Puspa Hadinegara dari Keraton Surakarta Hadiningrat pada 2 Desember 1997- merupakan tipikal seniman yang mewarisi nilai dan gaya hidup seniman seangkatan Chairil Anwar, misalnya dari sikap bohemian. Sebaliknya, untuk karakter personalnya, Suryanto jauh berbeda dengan seniman yang lazimnya arogan dan hidup soliter. Suryanto justru berkepribadian rendah hati dengan hidup membaur, manjing ajur ajer sebagai laku tapa ngrame di tengah-tengah hiruk pikuk masyarakat pada umumnya. Forum macapatan yang digelar sepanjang sepuluh tahun terakhir adalah manifestasi dari perjuangannya.
Lazimnya tipikal seniman bohemian, Suryanto juga seorang yang romantis. Ia biasa melatih vokalnya bersama Sumantri Tjitropati, mantan wartawan Java Bode yang saat itu berusia 83 tahun, sahabatnya yang lebih senior, yang terampil memainkan keyboard. Lagu-lagu yang biasa dinyanyikannya antara lain Ave Maria, Aryati, Bung di Mana, ataupun Takkan Lari Gunung Dikejar. Segi romantisnya juga diekspresikan dalam kolom-kolomnya, Sampur Mataram, dimuat setiap Minggu di Bernas, dengan mengemas ide dan sikap hidupnya yang dipetik dari kawan-kawan di komunitasnya, seperti Sumantri Tjitropati, Yudo Piranti, Daniel Tatag, Gunawan, Bude Latip, Basuki, Elvira, Yos Triatmojo, Mbak Wanti, Sri Wintala Achmad, Dewanto, Eyang Hadi, Panji Kuning, Yoyok Hadi Wahyono, Slamet Suwanto, Hanung, Sareh, Mbak Kadar, Guntur Songgolangit, Endang Susanti Rustamaji, dan Mas Kanjeng yang merepresentasikan karakter Suryanto.
Kini Suryanto istirahat dalam damai di pemakaman umum Papahan, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Pemberangkatan jenazahnya ditandai dengan instrumen simbolik berupa gagar mayang sebagai penanda almarhum masih dalam keadaan status hidup melajang semasa hidupnya. Sedangkan di samping makamnya, almarhum ditemani seekor ayam, sebagai simbol untuk unggas peliharaan di alam baka.
Selamat jalan, Mas Kanjeng.

Jumat, 31 Desember 2010

Sehari dalam Hidup Mas Kanjeng

oleh: R Toto Sugiharto
(sudah dimuat di “Mata Baca” Volume 3 No 1 September 2004)

IA sudah terbiasa tidur beralas tikar di teras kediamannya di Jalan Nagan Lor 21 Yogyakarta. Ia akan menemani tamu-tamunya yang menghabiskan malam sampai di ujung fajar. Sesekali ia keluar mencarikan makan malam untuk kucingnya, Si Thole dari warung angkringan, tak jauh dari kediamannya. Sekitar pukul 03.00 ia bersiap-siap mengenakan jas, topi, atau kadang-kadang kopiah. Kemudian ia mengayuh sepedanya ke kantor redaksi harian Bernas di Jalan IKIP PGRI Sonosewu, Kasihan, Bantul, sekitar tiga kilometer dari kediamannya.

Beberapa naskah biasanya diselesaikannya hingga pukul 10.00. Selepas itu ia memiliki waktu luang. Maka, ia akan kembali ke kediamannya di Nagan Lor, ngobrol tentang apa saja bersama tetangga atau siapa pun yang datang dan menanyakan sesuatu. Dalam situasi santai, ia biasa bertelanjang dada dengan udeng di kepala.

Ya, Suryanto Sastroatmodjo, namanya. Bertanyalah perihal apa saja. Terutama tentang kebudayaan Jawa atau seputar kehidupan para pangeran dan sejarah raja-raja atau situs-situs di Pulau Jawa. Mungkin juga seputar prosedur laku dan mengapa seseorang harus menjalani laku tertentu. Maka, meluncurlah serangkaian penjelasan dari Suryanto Sastroatmodjo.

Senja. Rabu Wage, 21 Juli 2004. Seperti biasa, jika ada waktu luang saya mampir ke kediamannya. Ia menyambut saya dengan senyum khas dan lambaian tangannya. Ia pasti sedang santai karena bertelanjang dada dan mengenakan udeng.

Saya berbasa-basi memberi kabar baik.

Ia kemudian mulai bercerita: sebuah tim reportase dari sebuah televisi swasta baru saja mewawancarainya. Topiknya pengaruh Islam sufi, sunni, dan syiah dalam karya sastra Jawa. Ia memulai dengan cerita fabel tentang pelanduk atau kancil. Cerita fabel itu awalnya pada abad ke-15 disusun Sunan Giri dengan judul Falando Jinanataka dalam bahasa Melayu. Fabel dimaksudkan sebagai simbol intelektualitas dalam spirit pencapaian religiusitas manusia.

“Jadi, kalau memakai tokoh binatang, kan netral. Sunan Giri sudah mengambil kisah dari Persia. Waktu itu abad ke-15. Sebab, Sunan Giri yang juga menggunakan nama Raden Paku itu ada darah Timur Tengah juga. Pelanduk itu, kan bahasa Melayu dari asalnya, Persia, falando. Sebenarnya itu juga menceritakan perjalanan spiritual Sunan Giri,” katanya.

Fabel serupa kemudian memengaruhi karya sastra Jawa sebagai hasil dialog budaya. Namun, di belakang hari, cerita binatang tentang kancil atau pelanduk mengalami perubahan. Pelanduk berubah sebagai tokoh binatang yang banyak akal dan tipu daya. Fenomena itu terjadi di saat bentuk sastra lisan merajai dan digencarkan oleh tukang cerita atau juru dongeng jalanan.

Dua Nama di Jalan Pena
Nama lengkapnya Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryanto Sastroatmodjo. Sebagian orang, khususnya kerabat dekat dan tetangganya, memanggilnya Romo Suryanto. Sebagian koleganya memanggilnya Mas Kanjeng. Nama Suryanto Sastro dipakainya dalam kapasitasnya sebagai narasumber acara mistik di sebuah televisi swasta. Ia juga menyandang nama KRT Surya Puspa Hadinegara, sebuah nama pemberian mendiang Sunan Pakubuwana XII.

Ya. Mas Kanjeng yang dilahirkan 22 Februari 1957 di Bojonegoro, sebelumnya bernama RPA (Raden Panji Anom) Suryanto Sastroatmodjo. Ayahnya, Kanjeng Raden Adipati Aryo Sutejo Suryo Hadinegoro, pernah menjabat bupati di Bojonegoro.

Mas Kanjeng adalah anak ketujuh dari 12 bersaudara dari ibu, Raden Ayu Sri Haluwiyah Wuryaningrum. Keenam saudara kandungnya menggeluti ilmu eksakta dan meraih gelar insinyur dan dokter. Hanya ia seorang yang concern menempuh hidup di jalan pena, sebagai jurnalis dan budayawan.

“Ibu sebenarnya mengarahkan saya menjadi birokrat. Beliau menyekolahkan saya di Semarang (ia menyebut sebuah nama perguruan tinggi administrasi pemerintahan dalam negeri – RTS). Tapi, saya lebih tertarik kuliah di Yogya (Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada – RTS). Eyang saya, Panembahan Adipati Puger juga yang memengaruhi saya tertarik dengan budaya Jawa. Eyang suka membacakan Serat Centhini dan banyak melatih saya menulis geguritan (puisi berbahasa Jawa – RTS) dan membacakan serat,” tutur Mas Kanjeng.

Satu nama lagi yang juga banyak memengaruhi jalan hidup Mas Kanjeng : Raden Mas Djokomono Tirto Adhisoerjo. Djokomono bukanlah nama asing dalam dunia pers. Tokoh pers nasional pendiri koran Medan Prijaji (1896-1927), yang mengilhami Pramoedya Ananta Toer menulis tetralogi: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Boleh jadi, dalam hal profesi Mas Kanjeng sebagai jurnalis, ia juga terinspirasi dari Djokomono Tirto Adhisoerjo. Artinya, jalan pena yang ditempuhnya hingga saat ini merupakan paduan dari kakak beradik Djokomono Tirto Adhisoerjo dan Panembahan Adipati Puger. Sambil menyelesaikan kuliahnya, pada 1980-an ia mengawali sebagai freelance dan menjadi reporter di Mercusuar, Pelopor Yogya, dan Suluh Indonesia (cikal bakal Berita Nasional – RTS).

“Saya pernah memberi masukan ke Pramoedya. Minke (protagonis di tetralogi – RTS) itu kan, Djokomono. Ya, soal cerita dia tentang kehidupan Nyai Ontosoroh dan Minke yang sangat romantis itu. Mungkin memang dibutuhkan dramatisasi seperti itu (dalam tetralogi – RTS). Saya pernah menyurati Pram. Kemudian Pram menulis buku lagi, Sang Pemula. Masih tentang Djokomono,” katanya.

Suryanto tentu saja sudah banyak menulis. Di luar kesibukannya sebagai jurnalis di harian Bernas, ia menyempatkan menulis geguritan atau artikel berbahasa Jawa untuk media mingguan bahasa Jawa Djaka Lodang (Yogyakarta) dan Jaya Baya (Surabaya). Ia juga terbuka menerima kolega atau siapa saja yang berkeinginan menanyakan sesuatu hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa.

Karya-karya Suryanto juga telah didokumentasikan dalam bentuk microfilm oleh Koninlijk Instituut voor de Taal, Land en Volkenkunde (KITLV). Beberapa judul yang dapat disebutkan adalah “Sang Bocah”, “Sayap-Sayap Merpati”, “Balada Lintang”, dan “Pada Sebuah Musim” (sepeninggal Mas Kanjeng, manuskrip ini kemudian dibukukan dengan judul Bung Sultan, Bunga Rampai Esai tentang Lelaku Priyayi Jawa – Adi Wacana, 2007 – kebetulan saya sebagai penyuntingnya). Suryanto juga membintangi film cerita pendek berlatar budaya Jawa, Kliwon, My Brother karya Luki dan mendapatkan penghargaan Festival Film Pendek Dunia di Nagoya, Jepang. Film yang sama diajukan ke Festival Film Cannes di Prancis dan meraih hadiah untuk penyutradaraan dan casting.

“Itu ceritanya mengharukan sekali. Kucingnya, Si Kliwon bisa benar-benar menjadi aktor. Kalau nama aslinya Pungki. Manut (menurut – RTS) diatur. Kalau azan maghrib, ia tepekur,” tuturnya.

Upaya melestarikan seni budaya Jawa tetap dilakukannya. Antara lain bersama Koordinator Jurnalis Peduli Budaya Yogyakarta Drs Yoyok Hadi Wahyono, SE menggelar forum macapat (sajak bermetrum yang dinyanyikan – RTS) rutin sebulan sekali di Hotel Natour Garuda, Jalan Malioboro Yogyakarta. Hingga saat ini forum Pasamuan Dharma Sri Winahya itu sudah memasuki tahun kesembilan.

Macapat, kata Mas Kanjeng yang masih bertahan hidup membujang itu, memiliki daya sugesti apabila dikemas dalam bentuk mantra untuk hal-hal terkait dan sesuai konteksnya. Selain itu, sastra berbasis bahasa ibu, bahasa Jawa, tetap eksis dan dipertahankan kreator lokal. Artinya, masih ada prestise sastra Jawa sebagai kenyataan sosial dan harus diperjuangkan secara struktural agar menjadi kekuatan sinergis bersama sastra Indonesia. Diperlukan pula revitalisasi untuk memerkuat budaya Nusantara yang dihidupkan oleh media massa cetak berbahasa Jawa.

Tak terasa. Waktu sudah mencapai pukul 01.30 dini hari. Mas Kanjeng masih melayani kami berenam yang datang bergantian, ngobrol masalah apa saja.
Seorang tetangga mengantarkan enam bungkus nasi goreng untuk kami. Katanya, sebagai syukuran nomor togelnya nembus.

“Sik metu pira ta? (yang keluar berapa sih – RTS), Pak Bas?” sahut Mas Kanjeng tiba-tiba.

“Enem-sekawan-enem-tiga, Romo,” jawab Pak Bas.

“Wah, aku ra nembus (aku tak dapat – RTS),” ujar Mas Kanjeng.

Kami pun tertawa.

“Suka pasang nomor juga ya?” tanya seorang kawan.

Mas Kanjeng terkekeh.

Lalu, adakah hal unik lainnya yang masih melekat dalam diri Mas Kanjeng? Sebab, banyak orang bertanya kepada saya tentang Mas Kanjeng. Mereka pasti menyangka saya tergolong sobat dekatnya. Tapi, saya merasa Mas Kanjeng biasa-biasa saja. Kadang-kadang saya mengidentifikasikan Mas Kanjeng sebagai samin, seperti yang pernah ditulisnya, Masyarakat Samin, Siapakah Mereka? (Narasi 2003).

Mas Kanjeng sendiri menolak disebut sebagai samin. Sebab, ia tidak menolak teknologi. Saya tidak tahu pasti. Tapi, mungkin ini: sedikitnya, sudah dua kali saya memboncengkan Mas Kanjeng dalam keadaan sengaja berbasah kuyup.
Waktu itu langit berawan hitam menggantung di angkasa. Di tengah jalan tiba-tiba turun hujan sangat lebat. Saya menepikan sepeda motor dan mengenakan jas hujan. Tapi, ternyata Mas Kanjeng menolak melindungi badannya dari curah hujan. Ia membiarkan tubuhnya basah kuyup hingga menggigil kedinginan. Karena jarak tempuh kami masih jauh, saya pun memilih berteduh. Untuk beberapa saat, setelah hujan mereda kami melanjutkan perjalanan lagi. Saya tidak tahu adakah itu unsur-unsur samin yang melekat dalam dirinya. Saya belum sempat menanyakannya. Mungkin pada kesempatan lain saya akan menanyakannya....

“Angon Wayah” untuk Buku dan Pers
BUKU itu segalanya bagi saya. Artinya, saya harus selalu didampingi buku. Rasanya tak mungkin hidup tanpa buku. Buku apa saja. Komik juga. Dulu ibu saya selalu ngasih hadiah buku, tuturnya.

Ia pun mengilustrasikan masa lalunya. Dulu, waktu tinggal di Asrama Mahasiswa UGM Darma Putera, setiap mandi harus antre. Jadi, harus menunggu lama. Karenanya, untuk menghabiskan waktu menunggu, ia nongkrong sambil membaca buku.

Menghabiskan waktu dengan membaca buku akan lebih berguna. Maka, ke mana pun ia pergi, sedikitnya sebuah judul buku selalu ada di tangannya. Koleksi buku Mas Kanjeng kini mencapai 10.000-an judul. Sebagian besar diperoleh dari hibah sebagai warisan dari Bupati Tuban R Widagdo. Sebagian lainnya disimpan di Karanganyar, eks-Karesidenan Surakarta yang hampir memenuhi isi kamar. Topiknya apa saja, dari ekonomi, sosial, budaya, politik ataupun antropologi. Juga, buku-buku kerohanian dan masalah spiritualitas. Di antara jumlah yang lumayan banyak itu, buku-buku Mas Kanjeng sebagian disimpan di kantor Javanologi Panunggalan, Kompleks Sidobali, Yogyakarta.

Mas Kanjeng juga pernah dianugerahi buku sebanyak dua colt pick up pada 1979 dari Romo Windi Atmoko, SJ dan Dick Hartoko. Mereka merasa terkesan setelah mendapatkan pelayanan Mas Kanjeng yang berperan sebagai guide dalam perjalanan mereka ke Blambangan dan Madura.

Salah satu judul buku yang berkesan di hatinya adalah Pre-Emperor to Citizen. Buku karya Emerald Chang, seorang aktivis Partai Komunis Cina itu mengisahkan riwayat hidup Pu Yi, Kaisar terakhir yang mengilhami pembuatan film The Last Emperor (1987).

Buku dan Mas Kanjeng memang ibarat ikan dengan airnya. Maka, apabila malam hari, setelah terbebas dari rutinitas harian sebagai jurnalis, Mas Kanjeng selalu menyempatkan membuka-buka buku. Termasuk sebuah buku tebal, Di Bawah Bendera Revolusi karya Bung Karno selalu menemaninya, sampai ia terkantuk-kantuk. Sesekali, Mas Kanjeng menggunakan buku tebal itu sebagai bantal.
Sebagai jurnalis, Mas Kanjeng sebenarnya juga merindukan pers yang mampu memainkan peran optimal untuk kontrol sosial. Khususnya optimalisasi pers dalam memainkan perannya untuk mewujudkan budaya keterbukaan. Sebaliknya, di sisi lain pers ternyata juga dituntut untuk mampu angon wayah (beradaptasi dengan situasi – RTS). Semisal ada kehendak untuk membongkar korupsi, tapi ternyata kasus itu potensial untuk mengeliminasi terjadinya kejahatan yang lebih besar lagi dengan melibatkan massa lebih banyak.

Ia mencontohkan pengalaman Djokomono Tirto Adhisoerjo yang pernah menulis laporan tentang korupsi yang dilakukan seorang demang di Lampung. Demang itu menyalahgunakan kekuasaan, yakni memungut biaya di luar pajak terhadap masuknya barang kebutuhan rakyat di pelabuhan. Sementara penyelundupan candu tidak digubris. Ternyata tingkah laku demang sengaja dibiarkan Walinegeri setempat. Sebab, jika modus penyelundupan candu dibongkar maka akan melibatkan banyak orang yang kehidupannya bergantung pada praktik tersebut yang juga dikehendaki residen.

“Pers memang untuk mengawali keterbukaan. Tapi, istilahnya mesti angon wayah, melihat suasana atau situasi lebih dahulu, bagaimana kadar kewajaran menghendaki. Salah satunya dengan kritik yang konstruktif, yang disampaikan dengan halus supaya yang bersangkutan menghentikan kejahatannya,” katanya.

Senin, 06 Desember 2010

Sejarah Gunung Merapi

TENTUNYA menghindari bahayanya serta memanfaatkan faedahnya tidak hanya diperlukan ketika sedang membutuhkan saja. Cerita sejarah gunung Merapi juga menarik untuk diketahui sebagai pengetahuan bagi kita yang awam vulkanologi. Di bawah ini tulisan dari Badan Geologi mengenai sejarah Gunung Merapi yang sedang bergolak.

SEJARAH GEOLOGI

Hasil penelitian stratigrafi menunjukkan sejarah terbentuknya Merapi sangat kompleks. Wirakusumah (1989) membagi Geologi Merapi menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi Muda dan Merapi Tua. Penelitian selanjutnya (Berthomier, 1990; Newhall & Bronto, 1995; Newhall et.al, 2000) menemukan unit-unit stratigrafi di Merapi yang semakin detil. Menurut Berthommier,1990 berdasarkan studi stratigrafi, sejarah Merapi dapat dibagi atas 4 bagian :

PRA MERAPI (+ 400.000 tahun lalu)

Disebut sebagai Gunung Bibi dengan magma andesit-basaltik berumur ± 700.000 tahun terletak di lereng timur Merapi termasuk Kabupaten Boyolali. Batuan gunung Bibi bersifat andesit-basaltik namun tidak mengandung orthopyroxen. Puncak Bibi mempunyai ketinggian sekitar 2050 m di atas muka laut dengan jarak datar antara puncak Bibi dan puncak Merapi sekarang sekitar 2.5 km. Karena umurnya yang sangat tua Gunung Bibi mengalami alterasi yang kuat sehingga contoh batuan segar sulit ditemukan.

MERAPI TUA (60.000 – 8000 tahun lalu)

Pada masa ini mulai lahir yang dikenal sebagai Gunung Merapi yang merupakan fase awal dari pembentukannya dengan kerucut belum sempurna. Ekstrusi awalnya berupa lava basaltik yang membentuk Gunung Turgo dan Plawangan berumur sekitar 40.000 tahun. Produk aktivitasnya terdiri dari batuan dengan komposisi andesit basaltic dari awan panas, breksiasi lava dan lahar.

MERAPI PERTENGAHAN (8000 – 2000 tahun lalu)

Terjadi beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang dan Gajahmungkur, yang saat ini nampak di lereng utara Merapi. Batuannya terdiri dari aliran lava, breksiasi lava dan awan panas. Aktivitas Merapi dicirikan dengan letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan “de¬bris-avalanche” ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal-kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Pada periode ini terbentuk Kawah Pasarbubar.

MERAPI BARU (2000 tahun lalu – sekarang)

Dalam kawah Pasarbubar terbentuk kerucut puncak Merapi yang saat ini disebut sebagai Gunung Anyar yang saat ini menjadi pusat aktivitas Merapi. Batuan dasar dari Merapi diperkirakan berumur Merapi Tua. Sedangkan Merapi yang sekarang ini berumur sekitar 2000 tahun. Letusan besar dari Merapi terjadi di masa lalu yang dalam sebaran materialnya telah menutupi Candi Sambisari yang terletak ± 23 km selatan dari Merapi. Studi stratigrafi yang dilakukan oleh Andreastuti (1999) telah menunjukkan bahwa beberapa letusan besar, dengan indek letusan (VEI) sekitar 4, tipe Plinian, telah terjadi di masa lalu. Letusan besar terakhir dengan sebaran yang cukup luas menghasilkan Selokopo tephra yang terjadi sekitar sekitar 500 tahun yang lalu. Erupsi eksplosif yang lebih kecil teramati diperkirakan 250 tahun lalu yang menghasilkan Pasarbubar tephra.

SEJARAH ERUPSI

Tipe erupsi Gunung Merapi dapat dikategorikan sebagai tipe Vulkanian lemah. Tipe lain seperti Plinian (contoh erupsi Vesuvius tahun 79) merupakan tipe vulkanian dengan daya letusan yang sangat kuat. Erupsi Merapi tidak begitu eksplosif namun demikian aliran piroklastik hampir selalu terjadi pada setiap erupsinya. Secara visual aktivitas erupsi Merapi terlihat melalui proses yang panjang sejak dimulai dengan pembentukan kubah lava, guguran lava pijar dan awanpanas (pyroclastic flow).
Merapi termasuk gunungapi yang sering meletus. Sampai Juni 2006, erupsi yang tercatat sudah mencapai 83 kali kejadian. Secara rata-rata selang waktu erupsi Merapi terjadi antara 2 – 5 tahun (periode pendek), sedangkan selang waktu periode menengah setiap 5 – 7 tahun. Merapi pernah mengalami masa istirahat terpanjang selama >30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunungapi. Memasuki abad 16 kegiatan Merapi mulai tercatat cukup baik. Pada masa ini terlihat bahwa waktu istirahat terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 sampai dengan tahun 1658.

Evolusi Gunung Merapi

Sejarah letusan gunung Merapi mulai dicatat (tertulis) sejak tahun 1768. Namun demikian sejarah kronologi letusan yang lebih rinci baru ada pada akhir abad 19. Ada kecenderungan bahwa pada abad 20 letusan lebih sering dibanding pada abad 19. Hal ini dapat terjadi karena pencatatan suatu peristiwa pada abad 20 relatif lebih rinci. Pemantauan gunung api juga baru mulai aktif dilakukan sejak awal abad 20. Selama abad 19 terjadi sekitar 20 letusan, yang berarti interval letusan Merapi secara rata-rata lima tahun sekali. Letusan tahun 1872 yang dianggap sebagai letusan terakhir dan terbesar pada abad 19 dan 20 telah menghasilkan Kawah Mesjidan lama dengan diameter antara 480-600m. Letusan berlangsung selama lima hari dan digolongkan dalam kelas D. Suara letusan terdengar sampai Kerawang, Madura dan Bawean. Awan panas mengalir melalui hampir semua hulu sungai yang ada di puncak Merapi yaitu Apu, Trising, Senowo, Blongkeng, Batang, Woro, dan Gendol.

Awan panas dan material produk letusan menghancurkan seluruh desa-desa yang berada di atas elevasi 1000m. Pada saat itu bibir kawah yang terjadi mempunyai elevasi 2814m (;bandingkan dengan saat ini puncak Merapi terletak pada elevasi 2968m). Dari peristiwa-peristiwa letusan yang telah lampau, perubahan morfologi di tubuh Gunung dibentuk oleh lidah lava dan letusan yang relatif lebih besar. Gunung Merapi merupakan gunungapi muda. Beberapa tulisan sebelumnya menyebutkan bahwa sebelum ada Merapi, telah lebih dahuiu ada yaitu Gunung Bibi (2025m), lereng timurlaut gunung Merapi. Namun demikian tidak diketahui apakah saat itu aktivitas vulkanik berlangsung di gunung Bibi. Dari pengujian yang dilakukan, G. Bibi mempunyai umur sekitar 400.000 tahun artinya umur Merapi lebih muda dari 400.000 tahun. Setelah terbentuknya gunung Merapi, G. Bibi tertimbun sebagian sehingga saat ini hanya kelihatan sebagian puncaknya. Periode berikutnya yaitu pembentukan bukit Turgo dan Plawangan sebagai awal lahirnya gunung Merapi. Pengujian menunjukkan bahwa kedua bukit tersebut berumur sekitar maksimal 60.000 tahun (Berthomrnier, 1990). Kedua bukit mendominasi morfologi lereng selatan gunung Merapi.

Pada elevasi yang lebih tinggi lagi terdapat satuan-satuan lava yaitu bukit Gajahmungkur, Pusunglondon dan Batulawang yang terdapat di lereng bagian atas dari tubuh Merapi. Susunan bukit-bukit tersebut terbentuk paling lama pada, 6700 tahun yang lalu (Berthommier,1990). Data ini menunjukkan bahwa struktur tubuh gunung Merapi bagian atas baru terbentuk dalam orde ribuan tahun yang lalu. Kawah Pasarbubar adalah kawah aktif yang menjadi pusat aktivitas Merapi sebelum terbentuknya puncak.
Diperkirakan bahwa bagian puncak Merapi yang ada di atas Pasarbubar baru terbentuk mulai sekitar 2000 tahun lalu. Dengan demikian jelas bahwa tubuh gunung Merapi semakin lama semakin tinggi dan proses bertambahnya tinggi dengan cepat nampak baru beberapa ribu tahun lalu. Tubuh puncak gunung Merapi sebagai lokasi kawah aktif saat ini merupakan bagian yang paling muda dari gunung Merapi. Bukaan kawah yang terjadi pernah mengambil arah berbeda-beda dengan arah letusan yang bervariasi. Namun demikian sebagian letusan mengarah ke selatan, barat sampai utara. Pada puncak aktif ini kubah lava terbentuk dan kadangkala terhancurkan oleh letusan. Kawah aktif Merapi berubah-ubah dari waktu ke waktu sesuai dengan letusan yang terjadi. Pertumbuhan kubah lava selalu mengisi zona-zona lemah yang dapat berupa celah antara lava lama dan lava sebelumnya dalam kawah aktif Tumbuhnya kubah ini ciapat diawali dengan letusan ataupun juga sesudah letusan. Bila kasus ini yang terjadi, maka pembongkaran kubah lava lama dapat terjadi dengan membentuk kawah baru dan kubah lava baru tumbuh dalam kawah hasil letusan. Selain itu pengisian atau tumbuhnya kubah dapat terjadi pada tubuh kubah lava sebelumnya atau pada perbatasan antara dinding kawah lama dengan lava sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan kawahkawah letusan di puncak Merapi bervariasi ukuran maupun lokasinya. Sebaran hasil letusan juga berpengaruh pada perubahan bentuk morfologi, terutama pada bibir kawah dan lereng bagian atas. Pusat longsoran yang terjadi di puncak Merapi, pada tubuh kubah lava biasanya pada bagian bawah yang merupakan akibat dari terdistribusikannya tekanan di bagian bawah karena bagian atas masih cukup kuat karena beban material.

Lain halnya dengan bagian bawah yang akibat dari desakan menimbulkan zona-zona lemah yang kemudian merupakan pusat-pusat guguran. Apabila pengisian celah baik oleh tumbuhnya kubah masih terbatas jumlahnya, maka arah guguran lava masih dapat terkendali dalam celah yang ada di sekitarnya. Namun apabila celah-celah sudah mulai penuh maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan tumbuhnya kubah. Sehingga pertumbuhan kubah lava yang sifat menyamping (misal, periode 1994 – 1998) akan mengakibatkan perubahan arah letusan. Perubahan ini juga dapat terjadi pada jangka waktu relatif pendek dan dari kubah lava yang sama. Pertumbuhan kubah lava ini berkembang dari simetris menjadi asimetris yang berbentuk lidah lava. Apabila pertumbuhan menerus dan kecepatannya tidak sama, maka lidah lava tersebut akan mulai membentuk morfologi bergelombang yang akhirnya menjadi sejajar satu sama lain namun masih dalam satu tubuh. Alur pertumbuhannya pada suatu saat akan mencapai titik kritis dan menyimpang menimbulkan guguran atau longsoran kubah. Kronologi semacam ini teramati pada th 1943 (April sampai Mei 1943).

Penumpukan material baru di daerah puncak akibat dari pertumbuhan kubah terutama terlihat dari perubahan ketinggian maksimum dari puncak Merapi. Beberapa letusan yang dalam sejarah telah mengubah morfologi puncak antara lain letusan periode 1822-1823 yang menghasilkan kawah berdiameter 600m, periode 1846 – 1848 (200m), periode 1849 (250 – 400m), periode 1865 – 1871 (250m), 1872 – 1873 (480 – 600 m), 1930, 1961. (Sumber artikel : Badan Geologi/(dipetik dari http://alumni.ugm.ac.id Portal Alumni Universitas Gadjah Mada)

Rabu, 01 Desember 2010

Keabadian Wayang Ukur Sang Maestro

oleh R. Toto Sugiharto
(Sudah dipublikasikan di Majalah Dalang Ngumandang – Vol. 1 April 2010)

SIGIT Sukasman dan wayang ukur adalah loro loroning atunggal. Dua tetapi satu. Dua dalam satu. Dua anasir dalam satu eksistensi. Nama Sukasman identik dengan wayang ukur. Keberadaan wayang ukur pun tidak dapat lepas dari kreatornya: Sigit Sukasman.
Tak perlu ragu lagi. Sigit Sukasman memang Maestro. Eksistensinya berada di area alternatif, antara wayang klasik yang taat pakem dan wayang ukur yang penuh energi kreatif berikut kemungkinan-kemungkinan eksplorasi pada wilayah penyajiannya. Sehingga, tidak mengherankan bila banyak orang yang mencemooh. Tetapi, kelak tentu banyak pula yang mengaguminya.
Perihal buah kreativitasnya itu bisa disaksikan di kediamannya, Mergangsan II/1308 Yogyakarta. Di sana ada patung jaran sembrani (kuda terbang) berukuran besar setinggi tiga meter dan beberapa patung berukuran biasa. Semua dari bahan fiberglass. Dan, tentu saja wayang ukur. Sama seperti lazimnya wayang kulit, keunikan wayang ukur ada pada detail anatomi masing-masing tokoh wayang. Ada unsur yang lebih ditonjolkan. Sehingga, wayang kulit hasil kreasi Sukasman lebih dari sekadar dekoratif. Bentuk anatominya yang detail dan menonjol itu mencerminkan karakter masing-masing tokoh wayang secara lebih otentik.
Sebenarnya tidak sulit memahami makna wayang ukur karya Sukasman. Seperti kalau penciptanya menjelaskan kepada setiap penanya. Wayang ukur adalah karya wayang kulit yang merupakan proses mencari ukuran baru dari ukuran yang sudah ada. Itulah wayang ukur, seperti pernah dijelaskan Sukasman kepada wartawan.
Pengurus Sekretariat Nasional Wayang Indonesia, Sulebar M Soekarman menggarisbawahi Sukasman sebagai seniman Jawa yang sangat njawani. Dengan telaten metani (memilah) yang nampak dan tak nampak untuk merajut keagungan kebudayaan Nusantara. Almarhum adalah seniman modern yang kental dengan akar tradisi, pembaharu seni wayang dalam rupa visi, dan filsafati. Sebagai pribadi yang yakin dan konsisten akan panggilan hati nuraninya dalam olah seni, rasa, dan pikir.
“Sukasman itu pribadi luar biasa. Wayang ukur adalah pencapaian dia dalam olah seni rupa, seni pedalangan, dan aspek rasio dalam kebudayaan. Dulu kami sering berdiskusi. Kalau ada ide dan baru mood, dia bisa ngomong berapa pun lamanya," ucap Sulebar.
*
Seorang rekan wartawan pernah mengeluh tidak bisa mengakses Pak Kasman. Karenanya, ia heran demi melihat saya bisa wawancara dengan beliau. Padahal, ia sudah berulang kali minta waktunya untuk mewawancarai Pak Kasman. Saya beruntung dibanding kawan saya itu. Tapi, tahukah dia, mengapa saya bisa dengan mudah diterima Pak Kasman? Ya, tentu dia tidak tahu kalau jauh hari sebelumnya saya memang sudah sering datang ke rumah Pak Kasman. Bila ada waktu luang, saya menyempatkan mampir di rumahnya. Sekadar ngobrol. Baru akhirnya setelah agak akrab, beliau tidak bisa menolak tatkala saya meminta waktunya untuk wawancara.
Seingat saya, waktu itu Pak Kasman tengah mempersiapkan pergelaran wayang ukur – karya masterpiece beliau – di kediamannya. Lakonnya Bambang Ekalaya. Saya mengorek latar belakang pemilihan lakon dan juga konsep beliau tentang wayang ukur. Tapi, saya hanya mendapatkan materi soal latar belakang pementasan lakon. Tentang wayang ukur, kata Pak Kasman, kelak di lain waktu saja. Dan, waktu itu ketika saya jadi menonton Bambang Ekalaya, saya pun hanya bisa mencoba-coba menafsir-nafsir. Mungkin yang dimaksud wayang ukur lebih kepada tata artistik antara pementasan wayang ukur (wayang kulit khas konsep Pak Kasman) yang dipadukan dengan tarian Arjuna dan Srikandi yang diperankan manusia sebagai wayang orang. Maaf, saya lupa nama penari yang memerankan Arjuna dan Srikandi. Juga, dalang dan tiga narator. Satu yang saya ingat, Bambang Paningron. Kurang lebih seperti pemanggungan multidimensi: dari Arjuna dan Srikandi sebagai wayang kulit menjelma dua sejoli sosok manusia dalam dunia wayang orang.
Juga, ini: karakter tokoh wayang yang dinarasikan oleh empat aktor dan salah seorang berperan sebagai dalang. Begitulah tafsiran saya mengenai wayang ukur Pak Kasman. Lalu, di sela-sela pementasan itu, ternyata para pesindennya bisa leluasa mengiringi dalang dengan tembang-tembangnya diselingi saling berbalas SMS melalui ponsel masing-masing. Ya, tentu untuk yang terakhir bukan bagian dari konsep estetika wayang ukur Pak Kasman.
Tapi, sebenarnya memang sulit untuk bisa mengorek informasi – tentu saja informasi yang otentik dari pikiran beliau dan akurat. Dalam hal demikian, Pak Kasman seperti tertutup. Ia berani ngomong blak-blakan tapi kemudian sering berubah-ubah pendirian. Satu hal itu memang bisa menyulitkan wartawan.
Sebagian dari pikiran Pak Kasman, bila diformulasikan dalam abstraksi, saya pikir tentang wayang dan peranannya dalam peristiwa atau pengembangan kebudayaan dan kemanusiaan.
Suatu kali, Pak Kasman memberi kesempatan kepada saya untuk merekam pikirannya. Wawancara tersebut – atau tepatnya obrolan kami itu – sekitar Februari – Maret 2007 dan saya simpan di file. Sebenarnya waktu itu saya ada rencana mengorek pokok-pokok pikiran Pak Kasman dan bila memungkinkan membukukannya. Tapi, kemudian saya ada pekerjaan riset di Jawa Timur. Uniknya, tiga tahun kemudian, ketika saya membuka file Pak Kasman dan menulis obituari ini, saya juga sedang mengikuti undangan workshop dan riset di Jawa Timur.
Seusai riset pada 2007, sepulang dari Jatim, saya kembali menyambangi Pak Kasman di kediaman beliau, Kampung Mergangsan, Yogyakarta. Tetapi, lazimnya seniman seunik Pak Kasman, alih-alih menanggapi keinginan saya untuk melanjutkan wawancara, beliau malah menyodorkan berkas klipingan tulisan budayawan dan ngobrol-ngobrol ringan. Tetapi sebenarnya, di saat pembicaraan disampaikan secara lebih rileks itu justru terlontar percikan-percikan pikiran otentik beliau.
Saya pikir, memang dibutuhkan proses untuk bisa menangkap letikan-letikan pikiran Pak Kasman yang dahsyat dan otentik. Itu artinya, membutuhkan waktu relatif panjang dan energi berlebih. Sayang, saya tidak bisa telaten menyambangi beliau lantaran saya juga berkejaran dengan waktu dan kesibukan sebagai pekerja serabutan. Sampai akhirnya berita duka itu datang. Sang Maha Kuasa memanggil hamba-Nya, Sigit Sukasman, Kamis, 29 Oktober 2009. Pak Kasman menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 73 tahun di RS Panti Rapih Yogyakarta, setelah menjalani rawat inap akibat komplikasi gangguan jantung dan paru-paru.
Adapun mengenai materi wawancara itu, kurang lebih demikian yang bisa saya transkrip:
“Wayang untuk antisipasi secara tak langsung karena semua agama ingin menang politik. Jawa bukan politik, melainkan kreativitas. Itu yang diutamakan. Jangan ikut kritik pemerintahan. Tak perlu jauh-jauh...”
Maksudnya – tentu saja bagian ini sudah interpretasi saya – keberadaan wayang dan peranannya adalah dapat mengantisipasi hal-hal yang sama-sama memiliki kekuatan. Wayang berada di wilayah independen. Tapi, ia bisa menjadi kekuatan untuk posisi tawar, baik dalam kancah politik maupun sosial kemanusiaan umumnya. Sehingga, bagi pekerja budaya dalam konteks pelestarian wayang, seperti dalang, sinden, pengrawit, dan pihak terkait tidak perlu mematok target terlalu jauh dari konteks seni dan budaya.
Kemudian, ada lagi isi pikiran beliau, seperti ini:
“Ada yang menulis itu, Ki Juru Bangunjiwa – jurnalis dan esais spesial tema-tema Jawa dan kearifan lokal – ramalan itu yang membuat orang yang butuh gesang sae (hidup lebih baik). Dunia sudah tak bisa dilihat, kalau bisa tahu yang akan datang. Kalabendu itu sejak Jayabaya sudah ada.”
Bagian ini menurut saya sangat menep (matang dan mendalam) dan inspiratif. Mungkin kita belum menyadari, bahwa ada benarnya pikiran Pak Kasman. Ramalan itu dibutuhkan bagi orang-orang yang menginginkan hidupnya lebih baik. Tentu kalau kita memahami lebih mendalam, ada ironi misalnya, ketika kita mencermati si peramal sendiri yang memiliki kemampuan membaca kemungkinan masa depan kehidupan kliennya alias orang lain, sementara si peramal sendiri kehidupannya ya tetap begitu-begitu saja. Juga, andaikata kita sudah mengetahui kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang, maka misteri hidup di dunia tidak bisa lagi dinikmati. Hidup jadi tanpa suspence, tiada ketegangan.
Lalu, kata Pak Kasman, “sekarang zamannya kudu malah campur (harus membaur). Bukan hanya dengan agama, dengan budaya. Dihadang? Jalan terus. Seperti Janaka, kawin terus... (tentu saja bagian terakhir ini hanya guyonan – RTS).”
Maksudnya, masa sekarang ini – yang secara kebetulan memang sudah memasuki era informasi global – semua anasir menempati media sama yang digerakkan oleh teknologi jaringan internasional. Semua anasir budaya dan ideologi bertemu di media yang sama yang disediakan dari produk teknologi informasi global: dunia maya.
Sekarang yang bisa dilihat, bahwa semua serba relatif. Kalau dahulu, menurut Pak Kasman, antara kaum imperialis yang pandai dengan pribumi yang bodoh bisa terlihat mencolok – tentu bila digunakan ukuran modernisme Eropa – maka beliau menyatakan, “Belanda melihat orang Indonesia bodoh, maka berjodoh bila bertemu dengan Belanda yang pandai. Karena, Belanda akhirnya bisa menjajah, memeras. Bangsa Indonesia harus belajar dari kepandaian Belanda karena berjodoh. Orang bodoh jodohnya belajar kepada yang pintar. Dengan orang Cina kita juga bisa belajar soal mengelola uang. Saat ini zamannya semua harus mampu membaur.”
Begitu antara lain pikiran Pak Kasman. Dan, ada satu lagi yang mungkin bisa dijadikan bahan renungan kita. Begini:
“Orang yang terkuat di dunia adalah dia yang hidupnya menderita. Nek dipala saya kuat (bila dianiaya semakin kuat –RTS). Kemanusiaannya nambah siji (bertambah satu –RTS). Bukan penuh dendam.”
Saya pikir, ungkapan beliau ini sangat religius. Bukankah dalam ajaran agama juga diserukan, orang-orang yang teraniaya justru yang doanya didengarkan oleh-Nya? Itulah, menurut saya letak kekuatan orang yang hidupnya menderita. Semakin mereka dianiaya, maka posisi mereka pun semakin kuat.
Lalu, saya ingat ungkapan-ungkapan yang pernah dilontarkan Pak Kasman di awal-awal pertemuan kami. Kata beliau, “aku iki digencet. Digencet (ditekan –RTS).” Maksudnya, Pak Kasman pernah mengalami masa hidup sulit lantaran mendapat tekanan secara politis. Sampai akhirnya saya menyalaminya ketika beliau menerima penghargaan dari Gubernur Provinsi DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai budayawan berprestasi dan berjasa kepada negara dan bangsa. Kemudian, sahabat beliau, Yoyok Hadi Wahyono berseloroh, “Piye saiki? Wus gak digencet, ta?(Bagaimana sekarang? Sudah tidak ditekan, kan? –RTS)....”
Pak Kasman tersenyum.
Selamat jalan, Sang Maestro. Kelak, wayang ukur itu semakin eksis demi mengabadikan namamu. Wayang ukur itu menjadi saksi betapa harum nama Sigit Sukasman di jagad pakeliran.
Surem-surem diwangkara kingkin lir manguswa kang layon….

====================================================================

Sigit Sukasman dan Jejak Wayang Ukur

SIGIT SUKASMAN (Yogyakarta, 10 April 1937 – 29 Oktober 2009 – Seniman – Alumnus ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) 1962 – Peserta World Fair di New York 1964 – Merantau di Belanda (1964 – 1974) – Buah karya berupa wayang ukur sebanyak 400-an buah – Penghargaan Gubernur Provinsi DY, Sri Sultan HB X 2004 – Penghargaan Gudang Garam Life Time Achievement (RTS/dari berbagai sumber)

Selasa, 30 November 2010

Kabinet Kantong Bolong

oleh R Toto Sugiharto
WARUNG Mas Swanten memang hanya sepetak. Itu pun hanya menumpang di tembok bagian rumah tua kosong tak berpenghuni. Menu utamanya juga hanya sop. Cuma sayur sop. Sayur yang dibuat dari kobis, wortel, tomat, bawang putih, sedikit garam, dan bumbu untuk sop serta sambel ditabur daun kemangi, bawang merah goreng. Lauknya cukup tempe goreng. Bisa juga kerupuk. Minumnya teh nasgithel: panas, legi (manis) dan kenthel (kental). Tapi, meski hanya sepetak, pelanggan Mas Swanten banyak. Dari juru parkir sampai pejabat elit berdasi – maksudnya salesman berdasi.
Kalau di luar mereka berkompetisi, tapi begitu sudah di warung Mas Swanten, semua pada akur bagai sesama sedulur, damai seperti dengan kerabat. Andaipun berdebat, itu sebatas untuk berdemokrasi. Yang jelas, suara yang terdengar di warung Mas Swanten benar-benar suara murni. Tidak direkayasa. Tidak pula dimanipulasi. Tidak berlaku off the record. Kalau mau membuktikan kebenarannya, ya mangga, dikros-cek sendiri.
Naah, ini cerita tatkala mereka, para pelanggan itu, mampir minum dan sarapan sop di warung Mas Swanten.
Hari masih pagi. Toko-toko juga baru disapu halaman teras dan parkirannya. Rolling door-nya juga baru didorong para pelayannya, perempuan-perempuan muda yang bertubuh mungil-mungil dengan rambut rebounding-an. Ada juga yang berjilbab.
Sop baru saja matang. Masih panas dan kemepul uapnya. Tempe goreng juga sudah terhidang di meja. Nasi di bakul juga sudah menanti sedari warung buka. Dan, ini lagi, ooh, harumnya bawang goreng...!
Mas Swanten melayani pelanggan dengan ramah. Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Tanda sebuah pesan pendek masuk.
“Wah, ada SMS masuk. Dari siapa ya...?” celetuk Mbak Mitayani menggoda.
Mas Swanten mesam-mesem, “Siapa ta, Mbak... Sebentar...,” ia lalu membuka dan membacanya dalam hati.
“Dari siapa, Mas? Rahasia ya?” goda Mbak Mitayani.
“Nggak tahu aku. Nggak kenal. Isinya juga...,” tukas Mas Swanten ragu untuk melanjutkan.
“Memang kenapa? Teror ya?”
“Oke, kalau kalian mau tahu. Kubacakan ya...?”
Semua menyimak. Sorot masing-masing mata tertuju pada Mas Swanten.
“Sultan nantang pusat untuk referendum tentang DIY? Sekalian aja merdeka biar tambah ramai. Gitu. Sudah,” ucap Swanten datar.
“Woo. Soal itu lagi?” celetuk Santri Ali.
“Memang kenapa sih? Mulai hangat lagi ya?” timpal Pakde Sastro Becak.
“Sultan itu kan menanggapi pidatonya SBY. Kata SBY tak ada sistem monarkhi dalam republik. Semua harus sama,” Santri Ali menimpali.
Mendadak ponsel Mas Swanten berbunyi lagi, tanda pesan baru masuk.
“Apa lagi ini...?” Mas Swanten membuka kotak masuk. Dari nomor yang sama. Isi pesannya juga sama. Tapi, kali kedua itu diberi identitas: Aris.
“Sama dengan yang tadi. Ooh, namanya Aris. Siapa ya? Perasaan nggak kenal,” ujar Mas Swanten.
“Kalau Mas Swanten nggak kenal sama pengirimnya, berarti Mas Swanten yang terkenal,” ujar Santri Ali.
“Fan kali, Mas?” sambut Mbak Mitayani.
“Boleh juga.”
Lagi, handphone Mas Swanten berbunyi. Sebuah pesan masuk.
“Masuk lagi, Mas Swanten. Waaah, panen SMS nih...,” goda Ni Luh Saraswati.
Mas Swanten cengengesan, “Asal bukan tagihan saja. Coba, ya. Ooh, temanku dari Sragen. Mas Sutiyatmoko Wardoyo. Sebentar, Mas Moko nulis, setelah Merapi meletus.... kok tiba-tiba ada letusan yang tak kalah dahsyatnya.... Saya tetap dukung Yogyakarta sebagai DIY... Sudah.”
“Naaah, itu notabene dari kawasan Eks Karesidenan Surakarta, Provinsi Jawa Tengah juga mendukung Keistimewaan Yogyakarta,” sambut Santri Ali.
Obrolan pun semakin gayeng. Topiknya semakin mengerucut pada persoalan RUUK (Rancangan Undang-Undang Keistimewaan) DIY yang tidak juga kunjung diselesaikan DPR RI dan Pemerintah Pusat.
“Kayaknya memang bakal diganjal,” celetuk Mbak Mitayani.
“Lebih tepatnya, buat ganjalan meja pimpinan DPR RI,” sambar Pakde Sastro Becak mulai sinis.
Santri Ali mesem kecut.
Lagi-lagi, sebuah pesan masuk ke ponsel Mas Swanten. Secepatnya Mas Swanten menyambar ponsel di atas toples rokok, “Nah, ini saya juga kenal. Beliau ini guide wisata Keraton. Namanya Pak Slamet Suwanto.”
“Apa Mas isinya?”
“Bener nih, kalian mau tahu isinya?”
“Ya iyalah. Siapa tahu ada hubungannya?”
“Ya, tentu. Lha wong guide Keraton? Sebentar kubacakan ya...,”
Semua mengangguk.
“Mbok digoleki wong partai sing gebeled ngising kepingin dadi gubernur neng Yogyakarta sapa?”
Mbak Mitayani terbelalak, “Alamaaak...?! Be’ol di Kali Code kali?!”
Semua pun tertawa.
“Apa sih, Mas Swanten, maksudnya?” bertanya Ni Luh Saraswati yang baru setahun tinggal di Yogyakarta.
Yang lain masih terbahak-bahak, “Aah, sampean pura-pura nggak tahu,” sambar Santri Ali di sela-sela tawanya.
“Maksudnya, siapa yang mau dikasih pisang? Gitu lho Mbak Luh” sahut Pakde Sastro Becak bercanda.
“Yang benar, Mas? Apa hubungannya?” tanya Ni Luh Saraswati tak yakin.
“Bener. Beliau itu guide Keraton. Memang isinya gitu,” bela Swanten, “Mau lihat sendiri?”
“Nggak! Percaya saja sama Mas Swanten. Tapi, apa betul artinya gitu? Yang dibilang Pakde Sastro tadi?!” kejar Ni Luh Saraswati penasaran.
Beberapa masih terkekeh-kekeh.
“Elok! Yang pro dan yang kontra bisa masuk ke hape Mas Swanten.”
“Itulah hebatnya Mas Swanten. Beliau ini mampu mengelola atau menampung semua suara. Sampai soal yang gebeled ngising tadi itu. Semuanya sama-sama menantang.”
“Terus terang, aku belum ngeh sama artinya pesan itu. Yang bener gimana sih?”
“Begini, Mbak Luh. Gebeled ngising itu kalau arti harfiahnya keburu pengin buang air besar. Nah, maknanya dalam konteks politik, ambisi ingin jadi gubernur di Jogja. Gitu, Mbak.”
“Ooh, sial Pakde Sastro Becak..!” keluh Ni Luh Saraswati merasa dikerjai, “Lha pisangnya?” kejarnya penasaran.
“Pisangnya biar dimakan orang partai yang berani menggantikan Sultan. Itu maksudnya. Ha ha ha ha...!” tukas Santri Ali.
“Iih, jorok ya?!” sembur Ni Luh Saraswati.
“Aah, embuuuh! Aku mau kerja. Mana sopnya, Mas?” sahut Mbak Mitayani.
Mas Swanten mengulurkan rantang yang sudah diisi sop panas, nasi, dan tempe goreng serta kerupuk. Tangan Mbak Mitayani yang bersih dan kuning langsat menerima rantangnya.
“Mangga semuanya...,” sapa Mbak Mitayani kepada pelanggan.
“Mangga, Mbak...!” sahut mereka serempak.
“Sebentar, Mbak Mita. Gimana rencana fasilitas hotspot buat warung Mas Swanten?” tanya Santri Ali menahan langkah Mbak Mitayani dan Ni Luh Saraswati.
“Ya, nanti kusampaikan juraganku,” sahut Mbak Mitayani.
“Oke, salam buat Tante Khusnul, ya, juragan paling baik dan berhati mulia,” tukas Santri Ali.
“Sayangnya aku nggak ada recehan. Udah ya...!” ucap Mbak Mitayani sembari menyambar lengan Ni Luh Saraswati meninggalkan warung Mas Swanten.
“Weeeh, aku tulus lho, Mbak...,” seru Santri Ali.
“Jadi, ini ceritanya SBY sudah menantang kita, kawula Ngayogyakarta Hadiningrat?” sungut Pakde Sastro Becak.
“Ya, bisa juga ada yang bilang, Sultan yang nantang SBY, ngajak referendum. Seperti SMS-nya Aris itu. Tinggal siapa yang melihat,” timpal Santri Ali.
“Gimana, Mas Swanten? Aku kok malah jadi bingung,“ keluh Pakde Sastro Becak.
“Ya, namanya politik, Pakde Sastro. Memang bikin bingung kita yang hanya rakyat jelata.”
“Mas Swanten juga bingung?” selidik Pakde Sastro Becak.
“Ya bingung. Saya kan juga kawula alit seperti sampean, Pakde?”
Pakde Sastro Becak terbahak-bahak.
“Sayang, cuma sepenggal-sepenggal begitu SMS-nya ya...?”
“Ya, pulsanya juga biar hemat, Mas Santri.”
“Ayo, tanggapi, Mas Swanten?” sambar Pakde Sastro Becak.
“Nggak punya pulsa...!”
Mereka terbahak-bahak.
“Kalau aku melihatnya gini. Orang Jogja kayaknya yakin, nggak akan ada orang yang berambisi dan berani mencalonkan diri jadi gubernur di provinsi DIY ini. Sementara yang lain juga menuntut hak politiknya. Supaya semua dapat hak yang sama. Bisa juga ujung-ujungnya pada persoalan hak politik untuk memimpin Jogja. Untuk sama-sama bisa jadi gubernur. Gitu ya, Mas Swanten?” pancing Santri Ali.
“Lha mangga saja. Berpendapat itu kan boleh saja.”
“Kalau pendapat Mas Swanten?” timpal Pakde Sastro Becak.
“Ini kan kalau di wayang, lakonnya Ratu Dadi Petruk,” urai Mas Swanten akhirnya.
“Lho, kok bisa gitu, Mas Swanten? Setahuku yang ada kan lakon Petruk Dadi Ratu?” sambar Santri Ali semangat karena ide orisinil sudah dilontarkan Mas Swanten.
“Lakon yang itu sudah lewat. Sekarang itu lakonnya Ratu Dadi Petruk. Presiden SBY itu kan rumangsane Ratu di Indonesia, menguasai Indonesia.”
“Padahal...?” pancing Santri Ali.
“Padahal ya... Petruk itu. Politiknya politik kantong bolong. Akhirnya, produknya ya Kabinet Kantong Bolong.”
“Lalu, mestinya gimana, Mas Swanten?”
“Aku tahu maksud Mas Swanten. Mungkin seperti Jimly yang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ya, Mas. Biarlah di Indonesia tetap ada yang istimewa, seperti Jogja. Bukankah Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika?”
“Ya, begitulah. Apa yang diomongkan SBY itu bisa bertentangan dengan UUD 1945 lho. Bukankah daerah istimewa juga sudah diakui di UUD?” ucap Gus Kusen yang lama berdiam.
“Memang, masalah ini ibarat asap, apinya berasal dari omongan SBY, dia bilang bentuk keistimewaan DIY seperti monarkhi. Itu harus diklarifikasi. DIY bukan monarkhi lha wong produk hukumnya melalui demokrasi. Padahal, sekian produk hukum, seperti Perda dan kebijakan lain di Jogja dari mekanisme politik di legislatif kan, Mas?” timpal Santri Ali.
“Ya, begitulah, Mas kalau dia rumangsane jadi Raja Indonesia. Sementara dia melihat Sultan hanya Raja di Jogja.”
“Berarti lakonnya yang benar, Semar Dadi Ratu, Mas Swanten? Pak SBY kan konon mengidentifikasi sebagai Semar?” pancing Gus Kusen.
“Ya, bisa saja. Di negeri kita kan bebas. Mau jadi Semar, Gareng, Petruk, apa Bagong, ya mangga saja...,” sahut Mas Swanten enteng.
“Tapi, Semar kan sudah dipakai Pak Harto?!” sela Pakde Sastro Becak.
“Bedanya sama Pak Harto, kalau Pak Harto itu Semar Mesem. Lha Pak SBY apa Semar Mendhem?” sahut Santri Ali.
“Bisa saja gitu. Mendhem itu kan mabuk. Mabuk pujian, pencitraan, sementara negerinya diosak-asik bencana,” sambut Mas Swanten.
“Ya, tapi jadi Raja di Indonesia kan juga hanya punya kesempatan dua kali periode. Setelah itu nggak boleh dipilih lagi,” ujar Gus Kusen.
“Kecuali istrinya maju nyapres. Terus kelak anaknya. Cucunya,” susul Pakde Sastro Becak.
“Tapi, kan bukan SBY lagi. Beda dengan Jogja,” sambar Santri Ali.
“Gimana Mas kalau Jogja?”
“Kalau Jogja, Sultan itu tetap Raja di Jogja. Meskipun sudah nggak jadi gubernur, misalnya.”
“Gitu ya, Mas? Lha mbok ya gitu aja, Mas?”
“Ya, sana sampean matur pada Ngarsa Dalem,” balas Mas Swanten.
“Kalau saya melihatnya agak lain, Mas Swanten.”
“Ya gimana, Gus Kusen?”
“Menurut saya, sekarang ini kan jamannya Senjakala Mataram. Sultan itu ibaratnya Kaisar terakhir. The Last Emperor. Ini juga karena tekanan modernisasi, rasionalisasi. Karena, sistem kerajaan itu sering larinya ke mistik, klenik, nggak rasional.”
“Begitu ya, Gus Kusen?”
“Siapa yang kuat melawan modernisasi? Dulu awalnya memang penguasa itu, yang celakanya banyak dari bangsawan, menindas rakyat. Maka, ada demokrasi, disusul modernisasi. Dan, dari kerajaan mau berbagi. Jadilah gayung bersambut. Akhirnya jadi seperti sekarang ini. Coba saja kita simak lagi awal-awal berdirinya republik. Dan, juga sejarah di dunia, cikal bakal tumbuhnya demokrasi.”
“Gitu ya, Gus Kusen?”
“Menurutku lho, Mas. Seingatku aku pernah baca buku ya seperti itu.”
Sunyi pun merayap. Diam. Tak ada yang bicara. Mereka seperti ingin merenungkan kalimat Gus Kusen.
Lagi-lagi, sebuah pesan masuk ke ponsel Mas Swanten. “Wah, kok bertubi-tubi? Padahal pulsaku belum isi ulang...,” celetuk Mas Swanten.
“Ya sudah dibaca saja, Mas Swanten. Pasti isinya masih ada hubungannya.”
“Ya, benar. Ini ya..., percayalah wahyu Mataram gaib akan bekerja dengan caranya sendiri untuk menyelesaikan soal keistimewaan DIY.”
“Waaah, klenik lagi...,” celetuk Santri Ali, “dari siapa, Mas?” korek Santri Ali.
Mas Swanten mesam-mesem, “Yang guide Keraton tadi. Pak Slamet.”
“Pantas...!” seru Santri Ali.
Pakde Sastro Becak terkekeh-kekeh. Gus Kusen manggut-manggut. Pembeli yang lain terpingkal-pingkal. ***