mangkya darajating praja - kawuryan wus sonya ruri - rurah pangrehing ngukara - karana tanpa palupi - ponang parameng kawi - kawileting tyas maladkung - kungas kasudranira - tidem tandaning dumadi - ardayeng rat dening karoban rubeda - R Ng Ranggawarsita - adapun martabat negara - kini terlihat sunyi senyap - aturan dan bahasa kacau - sedangkan para penyair - dibenam sesapan duka cinta - habis sudah keberanian mereka - padam sudah tanda-tanda kehidupan - dunia terasa disesaki petaka

Selasa, 30 November 2010

Kabinet Kantong Bolong

oleh R Toto Sugiharto
WARUNG Mas Swanten memang hanya sepetak. Itu pun hanya menumpang di tembok bagian rumah tua kosong tak berpenghuni. Menu utamanya juga hanya sop. Cuma sayur sop. Sayur yang dibuat dari kobis, wortel, tomat, bawang putih, sedikit garam, dan bumbu untuk sop serta sambel ditabur daun kemangi, bawang merah goreng. Lauknya cukup tempe goreng. Bisa juga kerupuk. Minumnya teh nasgithel: panas, legi (manis) dan kenthel (kental). Tapi, meski hanya sepetak, pelanggan Mas Swanten banyak. Dari juru parkir sampai pejabat elit berdasi – maksudnya salesman berdasi.
Kalau di luar mereka berkompetisi, tapi begitu sudah di warung Mas Swanten, semua pada akur bagai sesama sedulur, damai seperti dengan kerabat. Andaipun berdebat, itu sebatas untuk berdemokrasi. Yang jelas, suara yang terdengar di warung Mas Swanten benar-benar suara murni. Tidak direkayasa. Tidak pula dimanipulasi. Tidak berlaku off the record. Kalau mau membuktikan kebenarannya, ya mangga, dikros-cek sendiri.
Naah, ini cerita tatkala mereka, para pelanggan itu, mampir minum dan sarapan sop di warung Mas Swanten.
Hari masih pagi. Toko-toko juga baru disapu halaman teras dan parkirannya. Rolling door-nya juga baru didorong para pelayannya, perempuan-perempuan muda yang bertubuh mungil-mungil dengan rambut rebounding-an. Ada juga yang berjilbab.
Sop baru saja matang. Masih panas dan kemepul uapnya. Tempe goreng juga sudah terhidang di meja. Nasi di bakul juga sudah menanti sedari warung buka. Dan, ini lagi, ooh, harumnya bawang goreng...!
Mas Swanten melayani pelanggan dengan ramah. Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Tanda sebuah pesan pendek masuk.
“Wah, ada SMS masuk. Dari siapa ya...?” celetuk Mbak Mitayani menggoda.
Mas Swanten mesam-mesem, “Siapa ta, Mbak... Sebentar...,” ia lalu membuka dan membacanya dalam hati.
“Dari siapa, Mas? Rahasia ya?” goda Mbak Mitayani.
“Nggak tahu aku. Nggak kenal. Isinya juga...,” tukas Mas Swanten ragu untuk melanjutkan.
“Memang kenapa? Teror ya?”
“Oke, kalau kalian mau tahu. Kubacakan ya...?”
Semua menyimak. Sorot masing-masing mata tertuju pada Mas Swanten.
“Sultan nantang pusat untuk referendum tentang DIY? Sekalian aja merdeka biar tambah ramai. Gitu. Sudah,” ucap Swanten datar.
“Woo. Soal itu lagi?” celetuk Santri Ali.
“Memang kenapa sih? Mulai hangat lagi ya?” timpal Pakde Sastro Becak.
“Sultan itu kan menanggapi pidatonya SBY. Kata SBY tak ada sistem monarkhi dalam republik. Semua harus sama,” Santri Ali menimpali.
Mendadak ponsel Mas Swanten berbunyi lagi, tanda pesan baru masuk.
“Apa lagi ini...?” Mas Swanten membuka kotak masuk. Dari nomor yang sama. Isi pesannya juga sama. Tapi, kali kedua itu diberi identitas: Aris.
“Sama dengan yang tadi. Ooh, namanya Aris. Siapa ya? Perasaan nggak kenal,” ujar Mas Swanten.
“Kalau Mas Swanten nggak kenal sama pengirimnya, berarti Mas Swanten yang terkenal,” ujar Santri Ali.
“Fan kali, Mas?” sambut Mbak Mitayani.
“Boleh juga.”
Lagi, handphone Mas Swanten berbunyi. Sebuah pesan masuk.
“Masuk lagi, Mas Swanten. Waaah, panen SMS nih...,” goda Ni Luh Saraswati.
Mas Swanten cengengesan, “Asal bukan tagihan saja. Coba, ya. Ooh, temanku dari Sragen. Mas Sutiyatmoko Wardoyo. Sebentar, Mas Moko nulis, setelah Merapi meletus.... kok tiba-tiba ada letusan yang tak kalah dahsyatnya.... Saya tetap dukung Yogyakarta sebagai DIY... Sudah.”
“Naaah, itu notabene dari kawasan Eks Karesidenan Surakarta, Provinsi Jawa Tengah juga mendukung Keistimewaan Yogyakarta,” sambut Santri Ali.
Obrolan pun semakin gayeng. Topiknya semakin mengerucut pada persoalan RUUK (Rancangan Undang-Undang Keistimewaan) DIY yang tidak juga kunjung diselesaikan DPR RI dan Pemerintah Pusat.
“Kayaknya memang bakal diganjal,” celetuk Mbak Mitayani.
“Lebih tepatnya, buat ganjalan meja pimpinan DPR RI,” sambar Pakde Sastro Becak mulai sinis.
Santri Ali mesem kecut.
Lagi-lagi, sebuah pesan masuk ke ponsel Mas Swanten. Secepatnya Mas Swanten menyambar ponsel di atas toples rokok, “Nah, ini saya juga kenal. Beliau ini guide wisata Keraton. Namanya Pak Slamet Suwanto.”
“Apa Mas isinya?”
“Bener nih, kalian mau tahu isinya?”
“Ya iyalah. Siapa tahu ada hubungannya?”
“Ya, tentu. Lha wong guide Keraton? Sebentar kubacakan ya...,”
Semua mengangguk.
“Mbok digoleki wong partai sing gebeled ngising kepingin dadi gubernur neng Yogyakarta sapa?”
Mbak Mitayani terbelalak, “Alamaaak...?! Be’ol di Kali Code kali?!”
Semua pun tertawa.
“Apa sih, Mas Swanten, maksudnya?” bertanya Ni Luh Saraswati yang baru setahun tinggal di Yogyakarta.
Yang lain masih terbahak-bahak, “Aah, sampean pura-pura nggak tahu,” sambar Santri Ali di sela-sela tawanya.
“Maksudnya, siapa yang mau dikasih pisang? Gitu lho Mbak Luh” sahut Pakde Sastro Becak bercanda.
“Yang benar, Mas? Apa hubungannya?” tanya Ni Luh Saraswati tak yakin.
“Bener. Beliau itu guide Keraton. Memang isinya gitu,” bela Swanten, “Mau lihat sendiri?”
“Nggak! Percaya saja sama Mas Swanten. Tapi, apa betul artinya gitu? Yang dibilang Pakde Sastro tadi?!” kejar Ni Luh Saraswati penasaran.
Beberapa masih terkekeh-kekeh.
“Elok! Yang pro dan yang kontra bisa masuk ke hape Mas Swanten.”
“Itulah hebatnya Mas Swanten. Beliau ini mampu mengelola atau menampung semua suara. Sampai soal yang gebeled ngising tadi itu. Semuanya sama-sama menantang.”
“Terus terang, aku belum ngeh sama artinya pesan itu. Yang bener gimana sih?”
“Begini, Mbak Luh. Gebeled ngising itu kalau arti harfiahnya keburu pengin buang air besar. Nah, maknanya dalam konteks politik, ambisi ingin jadi gubernur di Jogja. Gitu, Mbak.”
“Ooh, sial Pakde Sastro Becak..!” keluh Ni Luh Saraswati merasa dikerjai, “Lha pisangnya?” kejarnya penasaran.
“Pisangnya biar dimakan orang partai yang berani menggantikan Sultan. Itu maksudnya. Ha ha ha ha...!” tukas Santri Ali.
“Iih, jorok ya?!” sembur Ni Luh Saraswati.
“Aah, embuuuh! Aku mau kerja. Mana sopnya, Mas?” sahut Mbak Mitayani.
Mas Swanten mengulurkan rantang yang sudah diisi sop panas, nasi, dan tempe goreng serta kerupuk. Tangan Mbak Mitayani yang bersih dan kuning langsat menerima rantangnya.
“Mangga semuanya...,” sapa Mbak Mitayani kepada pelanggan.
“Mangga, Mbak...!” sahut mereka serempak.
“Sebentar, Mbak Mita. Gimana rencana fasilitas hotspot buat warung Mas Swanten?” tanya Santri Ali menahan langkah Mbak Mitayani dan Ni Luh Saraswati.
“Ya, nanti kusampaikan juraganku,” sahut Mbak Mitayani.
“Oke, salam buat Tante Khusnul, ya, juragan paling baik dan berhati mulia,” tukas Santri Ali.
“Sayangnya aku nggak ada recehan. Udah ya...!” ucap Mbak Mitayani sembari menyambar lengan Ni Luh Saraswati meninggalkan warung Mas Swanten.
“Weeeh, aku tulus lho, Mbak...,” seru Santri Ali.
“Jadi, ini ceritanya SBY sudah menantang kita, kawula Ngayogyakarta Hadiningrat?” sungut Pakde Sastro Becak.
“Ya, bisa juga ada yang bilang, Sultan yang nantang SBY, ngajak referendum. Seperti SMS-nya Aris itu. Tinggal siapa yang melihat,” timpal Santri Ali.
“Gimana, Mas Swanten? Aku kok malah jadi bingung,“ keluh Pakde Sastro Becak.
“Ya, namanya politik, Pakde Sastro. Memang bikin bingung kita yang hanya rakyat jelata.”
“Mas Swanten juga bingung?” selidik Pakde Sastro Becak.
“Ya bingung. Saya kan juga kawula alit seperti sampean, Pakde?”
Pakde Sastro Becak terbahak-bahak.
“Sayang, cuma sepenggal-sepenggal begitu SMS-nya ya...?”
“Ya, pulsanya juga biar hemat, Mas Santri.”
“Ayo, tanggapi, Mas Swanten?” sambar Pakde Sastro Becak.
“Nggak punya pulsa...!”
Mereka terbahak-bahak.
“Kalau aku melihatnya gini. Orang Jogja kayaknya yakin, nggak akan ada orang yang berambisi dan berani mencalonkan diri jadi gubernur di provinsi DIY ini. Sementara yang lain juga menuntut hak politiknya. Supaya semua dapat hak yang sama. Bisa juga ujung-ujungnya pada persoalan hak politik untuk memimpin Jogja. Untuk sama-sama bisa jadi gubernur. Gitu ya, Mas Swanten?” pancing Santri Ali.
“Lha mangga saja. Berpendapat itu kan boleh saja.”
“Kalau pendapat Mas Swanten?” timpal Pakde Sastro Becak.
“Ini kan kalau di wayang, lakonnya Ratu Dadi Petruk,” urai Mas Swanten akhirnya.
“Lho, kok bisa gitu, Mas Swanten? Setahuku yang ada kan lakon Petruk Dadi Ratu?” sambar Santri Ali semangat karena ide orisinil sudah dilontarkan Mas Swanten.
“Lakon yang itu sudah lewat. Sekarang itu lakonnya Ratu Dadi Petruk. Presiden SBY itu kan rumangsane Ratu di Indonesia, menguasai Indonesia.”
“Padahal...?” pancing Santri Ali.
“Padahal ya... Petruk itu. Politiknya politik kantong bolong. Akhirnya, produknya ya Kabinet Kantong Bolong.”
“Lalu, mestinya gimana, Mas Swanten?”
“Aku tahu maksud Mas Swanten. Mungkin seperti Jimly yang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ya, Mas. Biarlah di Indonesia tetap ada yang istimewa, seperti Jogja. Bukankah Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika?”
“Ya, begitulah. Apa yang diomongkan SBY itu bisa bertentangan dengan UUD 1945 lho. Bukankah daerah istimewa juga sudah diakui di UUD?” ucap Gus Kusen yang lama berdiam.
“Memang, masalah ini ibarat asap, apinya berasal dari omongan SBY, dia bilang bentuk keistimewaan DIY seperti monarkhi. Itu harus diklarifikasi. DIY bukan monarkhi lha wong produk hukumnya melalui demokrasi. Padahal, sekian produk hukum, seperti Perda dan kebijakan lain di Jogja dari mekanisme politik di legislatif kan, Mas?” timpal Santri Ali.
“Ya, begitulah, Mas kalau dia rumangsane jadi Raja Indonesia. Sementara dia melihat Sultan hanya Raja di Jogja.”
“Berarti lakonnya yang benar, Semar Dadi Ratu, Mas Swanten? Pak SBY kan konon mengidentifikasi sebagai Semar?” pancing Gus Kusen.
“Ya, bisa saja. Di negeri kita kan bebas. Mau jadi Semar, Gareng, Petruk, apa Bagong, ya mangga saja...,” sahut Mas Swanten enteng.
“Tapi, Semar kan sudah dipakai Pak Harto?!” sela Pakde Sastro Becak.
“Bedanya sama Pak Harto, kalau Pak Harto itu Semar Mesem. Lha Pak SBY apa Semar Mendhem?” sahut Santri Ali.
“Bisa saja gitu. Mendhem itu kan mabuk. Mabuk pujian, pencitraan, sementara negerinya diosak-asik bencana,” sambut Mas Swanten.
“Ya, tapi jadi Raja di Indonesia kan juga hanya punya kesempatan dua kali periode. Setelah itu nggak boleh dipilih lagi,” ujar Gus Kusen.
“Kecuali istrinya maju nyapres. Terus kelak anaknya. Cucunya,” susul Pakde Sastro Becak.
“Tapi, kan bukan SBY lagi. Beda dengan Jogja,” sambar Santri Ali.
“Gimana Mas kalau Jogja?”
“Kalau Jogja, Sultan itu tetap Raja di Jogja. Meskipun sudah nggak jadi gubernur, misalnya.”
“Gitu ya, Mas? Lha mbok ya gitu aja, Mas?”
“Ya, sana sampean matur pada Ngarsa Dalem,” balas Mas Swanten.
“Kalau saya melihatnya agak lain, Mas Swanten.”
“Ya gimana, Gus Kusen?”
“Menurut saya, sekarang ini kan jamannya Senjakala Mataram. Sultan itu ibaratnya Kaisar terakhir. The Last Emperor. Ini juga karena tekanan modernisasi, rasionalisasi. Karena, sistem kerajaan itu sering larinya ke mistik, klenik, nggak rasional.”
“Begitu ya, Gus Kusen?”
“Siapa yang kuat melawan modernisasi? Dulu awalnya memang penguasa itu, yang celakanya banyak dari bangsawan, menindas rakyat. Maka, ada demokrasi, disusul modernisasi. Dan, dari kerajaan mau berbagi. Jadilah gayung bersambut. Akhirnya jadi seperti sekarang ini. Coba saja kita simak lagi awal-awal berdirinya republik. Dan, juga sejarah di dunia, cikal bakal tumbuhnya demokrasi.”
“Gitu ya, Gus Kusen?”
“Menurutku lho, Mas. Seingatku aku pernah baca buku ya seperti itu.”
Sunyi pun merayap. Diam. Tak ada yang bicara. Mereka seperti ingin merenungkan kalimat Gus Kusen.
Lagi-lagi, sebuah pesan masuk ke ponsel Mas Swanten. “Wah, kok bertubi-tubi? Padahal pulsaku belum isi ulang...,” celetuk Mas Swanten.
“Ya sudah dibaca saja, Mas Swanten. Pasti isinya masih ada hubungannya.”
“Ya, benar. Ini ya..., percayalah wahyu Mataram gaib akan bekerja dengan caranya sendiri untuk menyelesaikan soal keistimewaan DIY.”
“Waaah, klenik lagi...,” celetuk Santri Ali, “dari siapa, Mas?” korek Santri Ali.
Mas Swanten mesam-mesem, “Yang guide Keraton tadi. Pak Slamet.”
“Pantas...!” seru Santri Ali.
Pakde Sastro Becak terkekeh-kekeh. Gus Kusen manggut-manggut. Pembeli yang lain terpingkal-pingkal. ***

Jumat, 26 November 2010

Pencuri di Gubuk Rabi’ah

SEORANG pencuri gelisah. Ia meninggalkan anak dan isterinya dengan sisa makanan hanya untuk sehari itu. Sementara waktu sudah merambat malam, ia belum mendapatkan barang curian.
Mendadak seorang lelaki tua menyapanya, “Hai! Kulihat kamu gelisah?”
“Betul, Tuan. Saya meninggalkan anak dan istri saya. Tak ada makanan di rumah.”
“Kamu pencuri, bukan?”
“Tuan tahu? Benar, Tuan.”
“Masuklah ke gubuk Rabi’ah Al Adawiyah. Kau bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan.”
Pencuri itu berseri-seri, “Begitu, Tuan? Setahuku, beliau memang tokoh termasyhur di negeri ini.”
“Sudahlah. Waktu keburu malam. Segeralah ke sana.”
“Terima kasih, Tuan,” tukas Pencuri itu menunduk dalam-dalam. Ia pun bermaksud menyalami lelaki tua itu, namun ternyata ia begitu saja raib dari hadapannya.
Pencuri itu pun bergegas menuju gubuk Rabi’ah. Ia memasuki gubuk itu. Pencuri itu tidak menemukan sesuatu yang dianggapnya berharga, kecuali sebuah kendi air. Ia pun bermaksud meninggalkan gubuk Rabi’ah.
Namun, Rabi’ah menangkapnya basah dan memanggilnya, “Hai...! Jika kamu pencuri sejati, kamu tidak akan pergi tanpa mengambil sesuatu.”
Pencuri itu menyahut dengan nada menghina, “Memang ada yang bisa kuambil?”
Rabi’ah menjawab, “Dasar pencuri miskin...! Ambillah air wudhu dari kendi itu. Masuklah ke ruang sujud. Shalatlah dua rakaat. Setelah itu kamu boleh pergi setelah kamu menerima sesuatu.”
Pencuri itu heran. Tapi, ia menurut saja, mengambil air dari kendi, berwudhu, dan memasuki ruang sujud di sudut gubuk Rabi’ah.
Saat si pencuri bertakbir, Rabi’ah pun mengangkat kedua tangannya dan menengadah ke langit-langit, “Tuhan, orang ini tidak menemukan apa-apa di gubuk ini. Karena itu, aku membawanya ke Pintu-Mu. Berikanlah kepadanya karunia dan rahmat-Mu....”
Pencuri itu terbenam dalam kehangatan aura spiritual di gubuk Rabi’ah. Ia pun melanjutkan shalatnya, melanjutkan lagi, dan lagi, hingga sepanjang malam. Sampai dini hari.
Saat subuh, Rabi’ah pun terbangun. Ia menemukan si pencuri masih bersujud, memohon ampunan dari-Nya. (RTS/sumber: Seyyed Hossein Nasr (Ed), 1987, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Bandung: Mizan: 2002)

Rabu, 24 November 2010

Ramalan

PERCAYAKAH Anda pada ramalan? Apakah ramalan bersifat fakta? Ataukah hanya imajinasi? Saya pernah menanyakan hal ini kepada beberapa kawan. Banyak yang tidak percaya. Tidak sedikit pula yang mengaitkannya dengan masalah keimanan dan melakukan penilaian. Seingat saya, ada kawan yang lebih terbuka. Waktu itu ia menjawab: ramalan akan bersifat fakta bila kita meyakini akan terjadi di kemudian hari. Sebaliknya, ramalan hanya imajinasi belaka jika kita tidak meyakini akan terjadinya hal itu.
Saya pun mengangguk saja. Memang, percaya atau tidak percaya, believe it or not, sebuah ramalan tidak lebih sebagai proses perhitungan spekulatif. Nilai probabilitasnya tinggi. Sama juga dengan ketidakmungkinannya. Boleh jadi semacam firasat atau isyarat, bagaimana kita akan meyakini kebenarannya? Isyarat atau firasat baru diakui kebenarannya bila ditemukan signifikansinya dengan fakta atau peristiwa yang sudah benar-benar terjadi, bukan? Tetapi, ingatkah Anda, kejatuhan Soeharto pada Mei 1998 sudah diramalkan tiga tahun sebelumnya oleh Permadi?
Di sebuah seminar di Yogyakarta, Permadi mengutarakan prediksi politiknya. Ia mengatakan, akan terjadi suksesi setelah 1997. Prediksi tersebut mungkin tidak terlalu berbahaya. Namun, dalam sebuah sesi dialog Permadi terjebak menjawab pertanyaan dari seorang peserta hingga mengarah pada ranah SARA (Suku – Agama – Ras – Antargolongan). Beberapa hari setelah menyampaikan prediksinya itu, Permadi ditangkap aparat keamanan. Polisi berdalih, Permadi telah memasuki area SARA dari materi yang diucapaknnya. Sebagian ucapan Permadi memang terpeleset pada persoalan ajaran agama tertentu. Sekitar dua bulan atau dua pekan sebelum Permadi melontarkan prediksinya di forum seminar, sebenarnya ia sudah mengungkapkannya dalam sebuah talkshow yang disiarkan di sebuah radio juga di Yogyakarta. Namun, aparat tiada bukti untuk memproses verbal.
Permadi pun diproses, diadili, dan masuk bui. Sementara waktu terus bergulir. Dan, terbukti –atau entah hanya kebetulan belaka, kepemimpinan Soeharto menuai protes dan menimbulkan reaksi mahasiswa menggelar gerakan demonstrasi besar-besaran. Klimaksnya adalah tuntutan mahasiswa mendesak Soeharto pensiun. Maka, Soeharto pun terpaksa menyadari posisinya sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat. Soeharto akhirnya memenuhi tuntutan mahasiwa, ia mundur pada 21 Mei 1998. Bukankah 1998 adalah angka setelah 1997, angka yang diramalkan Permadi?
Dari masa lalu kita bisa menyimak materi ramalan yang disampaikan para pujangga. Kita tentu tidak asing dengan ramalan Jayabaya, raja Kediri. Materi ramalan Jayabaya seputar masa sejumlah kerajaan dan pencapaian kejayaan serta pasang surutnya. Sampai memasuki abad ke-19 pujangga Ranggawarsita pun mengeksplorasi kemampuan meramal. Termasuk salah satu ramalannya yang tepat: emating pati patitis, yakni ketika Ranggawarsita meramalkan kematiannya sendiri di serat Sabda Jati. Untuk kasus ramalan tentang kematian pujangga legendaris yang sangat tepat perhitungannya itu, ada yang menganalisis hal itu sebenarnya sudah diketahui oleh sang pujangga. Alasannya, Ranggawarsita sudah diberitahu lebih dahulu karena hari kematiannya adalah pelaksanaan eksekusi hukuman mati yang dikenakan oleh Belanda. Kemungkinan lain, informasi tersebut merupakan sisipan yang ditulis oleh pujangga lain pascakematian Ranggawarsita.
Kembali pada materi ramalan. Bisakah kita membatalkan sebuah ramalan? Seperti misalnya, seandainya Permadi tidak ditangkap polisi, apakah ramalannya tidak mustajab? Sebaliknya, seandainya Permadi tidak melontarkan hasil ramalannya itu, apakah suksesi tetap terjadi dan kekuasaan Soeharto memang sudah ditakdirkan jatuh melalui proses reformasi? Allahu a’lam.
Baiklah, katakanlah kemampuan meramal Permadi di atas terbilang biasa. Sekarang, bagaimana dengan pertunjukan ilusionis Deddy Corbuzier yang merekam suaranya di dalam sekeping kaset kemudian kaset itu diamankan dan dijaga ketat oleh petugas pengaman di Tugu Monas. Lebih dari sepekan kemudian kaset itu dibuka dan dihidupkan dengan tape recorder. Dan, isi suara rekaman Deddy ternyata persis sama dengan materi headline di sebuah koran nasional, yang memberitakan pernyataan Megawati Soekarnoputri, waktu itu sebagai Presiden, yang disampaikan di Singapura.
Bila dibandingkan, “ramalan” a la Deddy tidak kalah pelik dan kompleks dengan ramalan Permadi. Pada Deddy karena menyangkut institusi sebuah industri media informasi. Tentu akan sangat sulit kalaupun seseorang bisa mendikte redaksi, lebih-lebih dalam menentukan deadline. Selain itu, lebih sulit lagi bila dikaitkan dengan eksistensi Mega sebagai Presiden. Dalam hubungannya dengan permainan ilusionis Deddy, tentu saja Deddy tidak bermaksud mendikte pikiran Megawati, bukan? Tidak juga mengintervensi kebijakan redaksi koran?
Sekarang bagaimana dengan upaya atau ikhtiar yang dilakukan untuk membatalkan sebuah materi ramalan agar tidak terwujud? Perihal upaya atau ikhtiar membatalkan terwujudnya ramalan juga banyak dilakukan orang. Sebagian yang bisa kita simak dari kisah-kisah para bangsawan di Yunani, misalnya Julius Caesar yang mengabaikan ramalan, bahwa kekuasaannya akan dijatuhkan pada pertengahan Maret, akhirnya benar-benar terjadi. Demikian juga ikhtiar yang dilakukan Raja Thebes, yang membuang bayi Oeidhipus lantaran orakel meramal si bayi kelak akan membunuh dirinya dan mengawini permaisurinya. Alih-alih untuk menghindari terwujudnya ramalan buruk dari orakel, ikhtiar pembuangan bayi Oeidhipus justru menjadi jalan terwujudnya ramalan orakel.
By the way, seseorang pernah menyampaikan semacam ramalan tentang saya. Anehnya, orang itu –kebetulan perempuan, menyampaikannya melalui istri saya. Padahal, di antara kami tidak saling mengenal. Kata istri saya, mereka bertemu kebetulan saja, sewaktu istri saya menunggui anak kami yang dirawat inap di sebuah rumah sakit. Si “peramal” itu mengatakan beberapa hal yang akan saya alami, sekitar lima tahun kemudian terhitung dari waktu itu. Antara lain berkaitan dengan karier saya. Sebagai penguat untuk menjelaskan kemampuannya, si “peramal” juga mengilustrasikan letak kantor dan arah pintu kantor saya serta beberapa hal terkait wilayah di Provinsi Jawa Tengah sebagai tempat saya pernah mendapatkan tugas dari kantor. Istri saya pun was-was mendengar ramalannya tadi sehingga ia berusaha keras melupakannya dan tidak menceritakannya kepada saya. Kami pun mengalami pasang surut kehidupan berumah tangga. Lima tahun kemudian, setelah saya berhenti bekerja di kantor formal, baru istri saya teringat pada ramalan itu dan mengatakannya kepada saya.
Mungkin masalahnya bukan sekadar percaya atau tidak percaya pada ramalan. Sebagian orang yang mengklaim dirinya sebagai rasionalis akan mengaku tidak percaya pada ramalan. Sebaliknya, orang yang kelihatan membenci sesuatu yang dinilai klenik, sebenarnya belum tentu juga tidak percaya pada ramalan. Masalahnya, orang yang diberi kelebihan bisa meramal tentu juga tidak memperolehnya dengan tiba-tiba, seperti mendapat durian yang terjatuh dari keranjang di jalan. Kemampuan tersebut tentu diperoleh melalui proses panjang yang dikenal dengan istilah laku. Celakanya, orang lebih banyak yang suka melalui jalan pintas. Mereka malas menggembleng fisik dan raganya melalui proses. Padahal, masa penggemblengan tersebut sebagai bagian dari pematangan jiwa.
Sekarang, seandainya kita mendengar seseorang menyampaikan sebuah ramalan, bagaimana sikap kita? Di luar masalah percaya atau tidak percaya, saya pikir kita lebih baik bersikap: padha guru aja ngganggu, padha referensi aja ngrusuhi (bila kebetulan memperoleh ilmu dari guru yang sama hendaklah jangan saling mengganggu, sementara kalau kebetulan ada kesamaan referensi, hendaklah jangan saling merecoki –RTS).
Sampai di sini, sekarang bagaimana dengan Anda? Percayakah Anda pada ramalan? (R. Toto Sugiharto)

Selasa, 23 November 2010

Writing Tresna jalaran saka Kulina

Judul di atas merupakan bentuk pelesetan dari pepatah bahasa Jawa: witing tresna jalaran saka kulina. Maksudnya, tumbuhnya rasa cinta adalah buah dari intensitas pengenalan kepribadian. Secara tersirat ungkapan itu menekankan betapa penting sebuah proses dan kesetiaan menjalani proses tersebut.
Menjadi penulis juga harus ditempuh melalui proses. Perjalanannya bisa mulus dan lancar bagai jalan tol. Bisa pula sebaliknya, penuh liku, tikungan, dan tanjakan berbatu berikut turunan licin. Menjalani proses juga membutuhkan kesetiaan dan kecintaan pada komitmen. Maka, makna dari pelesetan judul di atas bisa dipahami demikian: kepiawaian menulis niscaya dapat dicapai jika dijalani dengan intensif dan penuh cinta.
Esai ini tentu saja tidak dalam konteks promosi bahwa dengan menjadi penulis maka kekayaan material juga berlimpah ruah. Kekayaan material atau mungkin juga sebaliknya adalah implikasi dari sebuah proses. Dalam kasus ini banyak juga orang yang terjebak pada anggapan, bahwa menjadi penulis idealis akan menanggung kehidupan yang kering secara material. Sebaliknya, dengan menjadi penulis komersial akan tercapai masa depan yang lebih menjanjikan. Tidak selalu demikian alurnya. Sebab, kenyataan lebih sering serba tidak terduga.
Meskipun demikian, ada kenyataan yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap penulis, yakni kepiawaian hanya dapat diraih setelah melalui proses. Ibarat buah yang masak di tangkai sebatang pohon tentulah melalui proses penyerbukan dibantu angin, burung atau serangga, semasa masih sebagai bunga. Hanya saja, hitungan rentang waktu dalam proses tentu berbeda-beda pada setiap personal. Hal itu bergantung pada variasi pengalaman empiris pada masing-masing orang.
Satu hal yang perlu dipahami, sebagai sebuah proses, menulis adalah sebuah jalan atau laku. Ibaratnya seperti Takezo alias Musashi, seorang samurai dari tokoh novel Musashi karya Eiji Yoshikawa, yang setia hidup di jalan pedang tetapi ia tidak lupa senantiasa mengevaluasi diri melalui pena. Artinya, substansi dari hidup yang dijalani Musashi adalah jalan pedang dan menulis sebagai media pencerahan.
Sekarang kita mungkin sudah merasa lebih mantap menempuh hidup di jalan pena sebagai penulis. Sebagian di antara kita mungkin sudah melalui proses di jalan yang berliku dan sudah pula menuai hasilnya. Sebagian yang lain mungkin masih dalam proses yang belum selesai. Sementara sisanya menganggap kehidupannya sebagai penulis bagai Sisiphus yang dikutuk dewa menaikkan sebongkah batu ke puncak gunung dan batu itu turun kembali untuk digelindingkan ke puncak lagi.
Proses mengidentifikasi diri bagai Sisiphus atau ibarat tokoh mitologi lainnya boleh jadi karena terkait pada konteks pengalaman personal seorang penulis serta perspektif yang dimilikinya dalam menafsirkan eksistensi diri. Tetapi, hakikat dari eksistensi penulis tetaplah sebagai orang biasa. Tumbuhnya kesadaran tersebut juga melalui rentang waktu panjang. Dahulu kala dalam tradisi budaya tulis dengan media lontar, menulis adalah proses transendensi melibatkan campur tangan dewa. Di kemudian hari, seiring terjadinya perkembangan rasionalitas manusia, menulis adalah proses kreatif biasa. Kreativitas imajinasilah yang melambungkan seorang penulis hingga memiliki visi tertentu. Ana Blandiana dari Rumania misalnya, berhasil mengoptimalkan visi profetisnya melalui cerpen pendek (short short story) sepanjang sembilan paragraf yang mengisahkan seorang narapidana yang kabur dari penjara melalui lukisan jendela terbuka di dinding penjara. Lukisan dinding penjara yang digambar oleh si narapidana menjadi media pelatuk visi profetisnya. Tetapi, pencapaian tersebut tentu dilandasi kreativitas imajinasi. Adapun visi profetisnya sebagai penyair, Ana Blandiana hendak mengingatkan kepada rezim komunis yang berkuasa di negerinya saat itu, bahwa imajinasi tidak bisa dipenjara.
Visi profetis dapat dicapai secara optimal apabila seorang penulis berhasil menemukan signifikansi antara eksistensi dirinya dengan konteks zamannya. Karenanya, seandainya makna sebuah karya tidak perlu dicari-cari maka setidak-tidaknya masyarakat pembaca menemukan signifikansi antara hasil karya dengan situasi waktu penciptaannya. Dalam bahasa yang sederhana, Rendra, Si Burung Merak jauh hari telah mengingatkan, perlunya seorang kreator manjing ing sajroning kahanan, yang oleh Bakdi Soemanto diterjemahkan “selalu hadir dalam konteks”.
Dalam literatur klasik pada tradisi kapujanggan, sebagian besar pujangga istana di tanah Jawa juga memiliki kesadaran hadir dalam konteks yang membuahkan visi profetis. Salah satu pujangga yang keharuman namanya melegenda adalah Raden Ngabehi Ranggawarsita melalui serat-serat, prosa liris bermetrum dalam bahasa Jawa. Dari goresan tintanya di serat-serat-nya, Ranggawarsita mengilustrasikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, yang disebutnya zaman Kalabendu, suatu masa yang dipenuhi duka derita dan bencana. Terlepas apakah kenyataan yang terjadi di masa sekarang sebagai kebetulan ataukah memang buah dari kepiawaian sang pujangga membaca kemungkinan masa depan, saat ini sudah terjadi bencana demi bencana di berbagai wilayah tanah air.
Kita yang masih menjalani proses menempuh hidup di jalan pena, sekarang ini hanya bisa meneladani dari sejumlah tokoh di masa lalu dan para perintis yang melontarkan gagasan-gagasan pencerahan. Kita tinggal menghidup-hidupkan gagasan-gagasan tersebut atau bila perlu mengabstraksikannya sebagai “ideologi alternatif” dalam proses rewrite atau re-kreasi untuk membedakannya dengan proses reproduksi teks. Artinya, dalam proses rewrite lebih dijiwai semangat reaktualisasi dan rekonstruksi atau sebaliknya, dekonstruksi dengan perspektif baru. Sedangkan dalam proses reproduksi teks semata-mata hanya pencekokan atau indoktrinasi.
Kesadaran demikian mestilah senantiasa dibangkitkan sebagai penumbuhan etos kerja kreatif menjadi penulis. Sehingga, produk dari karya kita tidak semata-mata reproduksi teks seperti hasil kerja seorang tukang oplos. Sebab, menempuh hidup di jalan pena tidak dimaksudkan hendak membangun rezim penulis, melainkan memperkaya ruas jalan pencerahan.
Kesetiaan menjalani proses mencerminkan sebuah keutamaan dalam merawat intensitas dan menjaga komitmen. Untuk mempertahankan kesadaran tersebut membutuhkan perjuangan keras karena dari waktu ke waktu setiap pribadi dihadapkan godaan yang akan membelokkan visi hingga seorang penulis tergelincir pada proses kejatuhan eksistensial. Salah satu upaya memerjuangkan komitmen adalah dengan sikap independen. Komitmen akan tetap terjaga apabila penulis tidak menjadi oportunis. Dalam hal ini kita mungkin patut meneladani novelis Inggris, George Orwell. Karena, hanya dari sikap independen, penulis tidak hanya merepresentasikan situasi zamannya, melainkan mengingatkan pembaca melalui ketajaman visi profetisnya. Melalui novel futuristiknya, 1984, Orwell mengetuk hati dan otak pembaca tentang kemungkinan sejarah masa depan yang melahirkan rezim totalitarian. Irving Howe, dalam  Politics and The Novel (1967) melukiskan, dalam novel 1984 Orwell memproyeksikan sebuah mimpi buruk dalam kehidupan politik yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan negara yang melemahkan rakyat. Irving Howe mengasumsikan novel 1984 adalah buku antipolitik yang sangat mendalam, penuh kebencian terhadap kekuasaan yang menghancurkan kehidupan pribadi.
Negeri totaliter yang dilukiskan Orwell adalah negeri yang dikendalikan sistem sosialisme. Tetapi, sebelum kematian menjemputnya, Orwell menegaskan, bukunya tidak dimaksudkan menyerang sosialisme atau Partai Buruh di Inggris yang berkuasa saat itu. Orwell mencoba menghadirkan kemungkinan dunia yang dikuasai individu dengan sense of humanity-nya yang usang dan berkepribadian jahat.
Orientasi Orwell tentu untuk melukiskan kemungkinan sejarah masa depan sebagai mimpi buruk manusia. Novel 1984 mengisahkan negeri Oceania yang ditulis Orwell pada 1948 dan terbit setahun kemudian. Ada sebuah negeri diapresiasi Orwell dalam novel tersebut, yaitu etnis Jawa dan kepulauan Indonesia. Kekuatan sosialisme saat itu memang nyaris mendunia. Tetapi, yang akhirnya menguasai sistem politik di negeri kita justru kapitalisme.
Sebelum mengakhiri esai ini, saya ingin menjelaskan, motif penulisan esai ini tidak muluk-muluk. Saya hanya hendak mengajak pembaca mengenali dunia kreatif, dunia tempat hunian penulis. Sementara bagi penulis, tulisan ini diharapkan dapat mengukuhkan keyakinan dan komitmen menjaga intensitas dalam proses kreatif dengan penuh kecintaan. (R. Toto Sugiharto)