mangkya darajating praja - kawuryan wus sonya ruri - rurah pangrehing ngukara - karana tanpa palupi - ponang parameng kawi - kawileting tyas maladkung - kungas kasudranira - tidem tandaning dumadi - ardayeng rat dening karoban rubeda - R Ng Ranggawarsita - adapun martabat negara - kini terlihat sunyi senyap - aturan dan bahasa kacau - sedangkan para penyair - dibenam sesapan duka cinta - habis sudah keberanian mereka - padam sudah tanda-tanda kehidupan - dunia terasa disesaki petaka

Jumat, 31 Desember 2010

Sehari dalam Hidup Mas Kanjeng

oleh: R Toto Sugiharto
(sudah dimuat di “Mata Baca” Volume 3 No 1 September 2004)

IA sudah terbiasa tidur beralas tikar di teras kediamannya di Jalan Nagan Lor 21 Yogyakarta. Ia akan menemani tamu-tamunya yang menghabiskan malam sampai di ujung fajar. Sesekali ia keluar mencarikan makan malam untuk kucingnya, Si Thole dari warung angkringan, tak jauh dari kediamannya. Sekitar pukul 03.00 ia bersiap-siap mengenakan jas, topi, atau kadang-kadang kopiah. Kemudian ia mengayuh sepedanya ke kantor redaksi harian Bernas di Jalan IKIP PGRI Sonosewu, Kasihan, Bantul, sekitar tiga kilometer dari kediamannya.

Beberapa naskah biasanya diselesaikannya hingga pukul 10.00. Selepas itu ia memiliki waktu luang. Maka, ia akan kembali ke kediamannya di Nagan Lor, ngobrol tentang apa saja bersama tetangga atau siapa pun yang datang dan menanyakan sesuatu. Dalam situasi santai, ia biasa bertelanjang dada dengan udeng di kepala.

Ya, Suryanto Sastroatmodjo, namanya. Bertanyalah perihal apa saja. Terutama tentang kebudayaan Jawa atau seputar kehidupan para pangeran dan sejarah raja-raja atau situs-situs di Pulau Jawa. Mungkin juga seputar prosedur laku dan mengapa seseorang harus menjalani laku tertentu. Maka, meluncurlah serangkaian penjelasan dari Suryanto Sastroatmodjo.

Senja. Rabu Wage, 21 Juli 2004. Seperti biasa, jika ada waktu luang saya mampir ke kediamannya. Ia menyambut saya dengan senyum khas dan lambaian tangannya. Ia pasti sedang santai karena bertelanjang dada dan mengenakan udeng.

Saya berbasa-basi memberi kabar baik.

Ia kemudian mulai bercerita: sebuah tim reportase dari sebuah televisi swasta baru saja mewawancarainya. Topiknya pengaruh Islam sufi, sunni, dan syiah dalam karya sastra Jawa. Ia memulai dengan cerita fabel tentang pelanduk atau kancil. Cerita fabel itu awalnya pada abad ke-15 disusun Sunan Giri dengan judul Falando Jinanataka dalam bahasa Melayu. Fabel dimaksudkan sebagai simbol intelektualitas dalam spirit pencapaian religiusitas manusia.

“Jadi, kalau memakai tokoh binatang, kan netral. Sunan Giri sudah mengambil kisah dari Persia. Waktu itu abad ke-15. Sebab, Sunan Giri yang juga menggunakan nama Raden Paku itu ada darah Timur Tengah juga. Pelanduk itu, kan bahasa Melayu dari asalnya, Persia, falando. Sebenarnya itu juga menceritakan perjalanan spiritual Sunan Giri,” katanya.

Fabel serupa kemudian memengaruhi karya sastra Jawa sebagai hasil dialog budaya. Namun, di belakang hari, cerita binatang tentang kancil atau pelanduk mengalami perubahan. Pelanduk berubah sebagai tokoh binatang yang banyak akal dan tipu daya. Fenomena itu terjadi di saat bentuk sastra lisan merajai dan digencarkan oleh tukang cerita atau juru dongeng jalanan.

Dua Nama di Jalan Pena
Nama lengkapnya Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryanto Sastroatmodjo. Sebagian orang, khususnya kerabat dekat dan tetangganya, memanggilnya Romo Suryanto. Sebagian koleganya memanggilnya Mas Kanjeng. Nama Suryanto Sastro dipakainya dalam kapasitasnya sebagai narasumber acara mistik di sebuah televisi swasta. Ia juga menyandang nama KRT Surya Puspa Hadinegara, sebuah nama pemberian mendiang Sunan Pakubuwana XII.

Ya. Mas Kanjeng yang dilahirkan 22 Februari 1957 di Bojonegoro, sebelumnya bernama RPA (Raden Panji Anom) Suryanto Sastroatmodjo. Ayahnya, Kanjeng Raden Adipati Aryo Sutejo Suryo Hadinegoro, pernah menjabat bupati di Bojonegoro.

Mas Kanjeng adalah anak ketujuh dari 12 bersaudara dari ibu, Raden Ayu Sri Haluwiyah Wuryaningrum. Keenam saudara kandungnya menggeluti ilmu eksakta dan meraih gelar insinyur dan dokter. Hanya ia seorang yang concern menempuh hidup di jalan pena, sebagai jurnalis dan budayawan.

“Ibu sebenarnya mengarahkan saya menjadi birokrat. Beliau menyekolahkan saya di Semarang (ia menyebut sebuah nama perguruan tinggi administrasi pemerintahan dalam negeri – RTS). Tapi, saya lebih tertarik kuliah di Yogya (Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada – RTS). Eyang saya, Panembahan Adipati Puger juga yang memengaruhi saya tertarik dengan budaya Jawa. Eyang suka membacakan Serat Centhini dan banyak melatih saya menulis geguritan (puisi berbahasa Jawa – RTS) dan membacakan serat,” tutur Mas Kanjeng.

Satu nama lagi yang juga banyak memengaruhi jalan hidup Mas Kanjeng : Raden Mas Djokomono Tirto Adhisoerjo. Djokomono bukanlah nama asing dalam dunia pers. Tokoh pers nasional pendiri koran Medan Prijaji (1896-1927), yang mengilhami Pramoedya Ananta Toer menulis tetralogi: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Boleh jadi, dalam hal profesi Mas Kanjeng sebagai jurnalis, ia juga terinspirasi dari Djokomono Tirto Adhisoerjo. Artinya, jalan pena yang ditempuhnya hingga saat ini merupakan paduan dari kakak beradik Djokomono Tirto Adhisoerjo dan Panembahan Adipati Puger. Sambil menyelesaikan kuliahnya, pada 1980-an ia mengawali sebagai freelance dan menjadi reporter di Mercusuar, Pelopor Yogya, dan Suluh Indonesia (cikal bakal Berita Nasional – RTS).

“Saya pernah memberi masukan ke Pramoedya. Minke (protagonis di tetralogi – RTS) itu kan, Djokomono. Ya, soal cerita dia tentang kehidupan Nyai Ontosoroh dan Minke yang sangat romantis itu. Mungkin memang dibutuhkan dramatisasi seperti itu (dalam tetralogi – RTS). Saya pernah menyurati Pram. Kemudian Pram menulis buku lagi, Sang Pemula. Masih tentang Djokomono,” katanya.

Suryanto tentu saja sudah banyak menulis. Di luar kesibukannya sebagai jurnalis di harian Bernas, ia menyempatkan menulis geguritan atau artikel berbahasa Jawa untuk media mingguan bahasa Jawa Djaka Lodang (Yogyakarta) dan Jaya Baya (Surabaya). Ia juga terbuka menerima kolega atau siapa saja yang berkeinginan menanyakan sesuatu hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa.

Karya-karya Suryanto juga telah didokumentasikan dalam bentuk microfilm oleh Koninlijk Instituut voor de Taal, Land en Volkenkunde (KITLV). Beberapa judul yang dapat disebutkan adalah “Sang Bocah”, “Sayap-Sayap Merpati”, “Balada Lintang”, dan “Pada Sebuah Musim” (sepeninggal Mas Kanjeng, manuskrip ini kemudian dibukukan dengan judul Bung Sultan, Bunga Rampai Esai tentang Lelaku Priyayi Jawa – Adi Wacana, 2007 – kebetulan saya sebagai penyuntingnya). Suryanto juga membintangi film cerita pendek berlatar budaya Jawa, Kliwon, My Brother karya Luki dan mendapatkan penghargaan Festival Film Pendek Dunia di Nagoya, Jepang. Film yang sama diajukan ke Festival Film Cannes di Prancis dan meraih hadiah untuk penyutradaraan dan casting.

“Itu ceritanya mengharukan sekali. Kucingnya, Si Kliwon bisa benar-benar menjadi aktor. Kalau nama aslinya Pungki. Manut (menurut – RTS) diatur. Kalau azan maghrib, ia tepekur,” tuturnya.

Upaya melestarikan seni budaya Jawa tetap dilakukannya. Antara lain bersama Koordinator Jurnalis Peduli Budaya Yogyakarta Drs Yoyok Hadi Wahyono, SE menggelar forum macapat (sajak bermetrum yang dinyanyikan – RTS) rutin sebulan sekali di Hotel Natour Garuda, Jalan Malioboro Yogyakarta. Hingga saat ini forum Pasamuan Dharma Sri Winahya itu sudah memasuki tahun kesembilan.

Macapat, kata Mas Kanjeng yang masih bertahan hidup membujang itu, memiliki daya sugesti apabila dikemas dalam bentuk mantra untuk hal-hal terkait dan sesuai konteksnya. Selain itu, sastra berbasis bahasa ibu, bahasa Jawa, tetap eksis dan dipertahankan kreator lokal. Artinya, masih ada prestise sastra Jawa sebagai kenyataan sosial dan harus diperjuangkan secara struktural agar menjadi kekuatan sinergis bersama sastra Indonesia. Diperlukan pula revitalisasi untuk memerkuat budaya Nusantara yang dihidupkan oleh media massa cetak berbahasa Jawa.

Tak terasa. Waktu sudah mencapai pukul 01.30 dini hari. Mas Kanjeng masih melayani kami berenam yang datang bergantian, ngobrol masalah apa saja.
Seorang tetangga mengantarkan enam bungkus nasi goreng untuk kami. Katanya, sebagai syukuran nomor togelnya nembus.

“Sik metu pira ta? (yang keluar berapa sih – RTS), Pak Bas?” sahut Mas Kanjeng tiba-tiba.

“Enem-sekawan-enem-tiga, Romo,” jawab Pak Bas.

“Wah, aku ra nembus (aku tak dapat – RTS),” ujar Mas Kanjeng.

Kami pun tertawa.

“Suka pasang nomor juga ya?” tanya seorang kawan.

Mas Kanjeng terkekeh.

Lalu, adakah hal unik lainnya yang masih melekat dalam diri Mas Kanjeng? Sebab, banyak orang bertanya kepada saya tentang Mas Kanjeng. Mereka pasti menyangka saya tergolong sobat dekatnya. Tapi, saya merasa Mas Kanjeng biasa-biasa saja. Kadang-kadang saya mengidentifikasikan Mas Kanjeng sebagai samin, seperti yang pernah ditulisnya, Masyarakat Samin, Siapakah Mereka? (Narasi 2003).

Mas Kanjeng sendiri menolak disebut sebagai samin. Sebab, ia tidak menolak teknologi. Saya tidak tahu pasti. Tapi, mungkin ini: sedikitnya, sudah dua kali saya memboncengkan Mas Kanjeng dalam keadaan sengaja berbasah kuyup.
Waktu itu langit berawan hitam menggantung di angkasa. Di tengah jalan tiba-tiba turun hujan sangat lebat. Saya menepikan sepeda motor dan mengenakan jas hujan. Tapi, ternyata Mas Kanjeng menolak melindungi badannya dari curah hujan. Ia membiarkan tubuhnya basah kuyup hingga menggigil kedinginan. Karena jarak tempuh kami masih jauh, saya pun memilih berteduh. Untuk beberapa saat, setelah hujan mereda kami melanjutkan perjalanan lagi. Saya tidak tahu adakah itu unsur-unsur samin yang melekat dalam dirinya. Saya belum sempat menanyakannya. Mungkin pada kesempatan lain saya akan menanyakannya....

“Angon Wayah” untuk Buku dan Pers
BUKU itu segalanya bagi saya. Artinya, saya harus selalu didampingi buku. Rasanya tak mungkin hidup tanpa buku. Buku apa saja. Komik juga. Dulu ibu saya selalu ngasih hadiah buku, tuturnya.

Ia pun mengilustrasikan masa lalunya. Dulu, waktu tinggal di Asrama Mahasiswa UGM Darma Putera, setiap mandi harus antre. Jadi, harus menunggu lama. Karenanya, untuk menghabiskan waktu menunggu, ia nongkrong sambil membaca buku.

Menghabiskan waktu dengan membaca buku akan lebih berguna. Maka, ke mana pun ia pergi, sedikitnya sebuah judul buku selalu ada di tangannya. Koleksi buku Mas Kanjeng kini mencapai 10.000-an judul. Sebagian besar diperoleh dari hibah sebagai warisan dari Bupati Tuban R Widagdo. Sebagian lainnya disimpan di Karanganyar, eks-Karesidenan Surakarta yang hampir memenuhi isi kamar. Topiknya apa saja, dari ekonomi, sosial, budaya, politik ataupun antropologi. Juga, buku-buku kerohanian dan masalah spiritualitas. Di antara jumlah yang lumayan banyak itu, buku-buku Mas Kanjeng sebagian disimpan di kantor Javanologi Panunggalan, Kompleks Sidobali, Yogyakarta.

Mas Kanjeng juga pernah dianugerahi buku sebanyak dua colt pick up pada 1979 dari Romo Windi Atmoko, SJ dan Dick Hartoko. Mereka merasa terkesan setelah mendapatkan pelayanan Mas Kanjeng yang berperan sebagai guide dalam perjalanan mereka ke Blambangan dan Madura.

Salah satu judul buku yang berkesan di hatinya adalah Pre-Emperor to Citizen. Buku karya Emerald Chang, seorang aktivis Partai Komunis Cina itu mengisahkan riwayat hidup Pu Yi, Kaisar terakhir yang mengilhami pembuatan film The Last Emperor (1987).

Buku dan Mas Kanjeng memang ibarat ikan dengan airnya. Maka, apabila malam hari, setelah terbebas dari rutinitas harian sebagai jurnalis, Mas Kanjeng selalu menyempatkan membuka-buka buku. Termasuk sebuah buku tebal, Di Bawah Bendera Revolusi karya Bung Karno selalu menemaninya, sampai ia terkantuk-kantuk. Sesekali, Mas Kanjeng menggunakan buku tebal itu sebagai bantal.
Sebagai jurnalis, Mas Kanjeng sebenarnya juga merindukan pers yang mampu memainkan peran optimal untuk kontrol sosial. Khususnya optimalisasi pers dalam memainkan perannya untuk mewujudkan budaya keterbukaan. Sebaliknya, di sisi lain pers ternyata juga dituntut untuk mampu angon wayah (beradaptasi dengan situasi – RTS). Semisal ada kehendak untuk membongkar korupsi, tapi ternyata kasus itu potensial untuk mengeliminasi terjadinya kejahatan yang lebih besar lagi dengan melibatkan massa lebih banyak.

Ia mencontohkan pengalaman Djokomono Tirto Adhisoerjo yang pernah menulis laporan tentang korupsi yang dilakukan seorang demang di Lampung. Demang itu menyalahgunakan kekuasaan, yakni memungut biaya di luar pajak terhadap masuknya barang kebutuhan rakyat di pelabuhan. Sementara penyelundupan candu tidak digubris. Ternyata tingkah laku demang sengaja dibiarkan Walinegeri setempat. Sebab, jika modus penyelundupan candu dibongkar maka akan melibatkan banyak orang yang kehidupannya bergantung pada praktik tersebut yang juga dikehendaki residen.

“Pers memang untuk mengawali keterbukaan. Tapi, istilahnya mesti angon wayah, melihat suasana atau situasi lebih dahulu, bagaimana kadar kewajaran menghendaki. Salah satunya dengan kritik yang konstruktif, yang disampaikan dengan halus supaya yang bersangkutan menghentikan kejahatannya,” katanya.

Senin, 06 Desember 2010

Sejarah Gunung Merapi

TENTUNYA menghindari bahayanya serta memanfaatkan faedahnya tidak hanya diperlukan ketika sedang membutuhkan saja. Cerita sejarah gunung Merapi juga menarik untuk diketahui sebagai pengetahuan bagi kita yang awam vulkanologi. Di bawah ini tulisan dari Badan Geologi mengenai sejarah Gunung Merapi yang sedang bergolak.

SEJARAH GEOLOGI

Hasil penelitian stratigrafi menunjukkan sejarah terbentuknya Merapi sangat kompleks. Wirakusumah (1989) membagi Geologi Merapi menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi Muda dan Merapi Tua. Penelitian selanjutnya (Berthomier, 1990; Newhall & Bronto, 1995; Newhall et.al, 2000) menemukan unit-unit stratigrafi di Merapi yang semakin detil. Menurut Berthommier,1990 berdasarkan studi stratigrafi, sejarah Merapi dapat dibagi atas 4 bagian :

PRA MERAPI (+ 400.000 tahun lalu)

Disebut sebagai Gunung Bibi dengan magma andesit-basaltik berumur ± 700.000 tahun terletak di lereng timur Merapi termasuk Kabupaten Boyolali. Batuan gunung Bibi bersifat andesit-basaltik namun tidak mengandung orthopyroxen. Puncak Bibi mempunyai ketinggian sekitar 2050 m di atas muka laut dengan jarak datar antara puncak Bibi dan puncak Merapi sekarang sekitar 2.5 km. Karena umurnya yang sangat tua Gunung Bibi mengalami alterasi yang kuat sehingga contoh batuan segar sulit ditemukan.

MERAPI TUA (60.000 – 8000 tahun lalu)

Pada masa ini mulai lahir yang dikenal sebagai Gunung Merapi yang merupakan fase awal dari pembentukannya dengan kerucut belum sempurna. Ekstrusi awalnya berupa lava basaltik yang membentuk Gunung Turgo dan Plawangan berumur sekitar 40.000 tahun. Produk aktivitasnya terdiri dari batuan dengan komposisi andesit basaltic dari awan panas, breksiasi lava dan lahar.

MERAPI PERTENGAHAN (8000 – 2000 tahun lalu)

Terjadi beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang dan Gajahmungkur, yang saat ini nampak di lereng utara Merapi. Batuannya terdiri dari aliran lava, breksiasi lava dan awan panas. Aktivitas Merapi dicirikan dengan letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan “de¬bris-avalanche” ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal-kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Pada periode ini terbentuk Kawah Pasarbubar.

MERAPI BARU (2000 tahun lalu – sekarang)

Dalam kawah Pasarbubar terbentuk kerucut puncak Merapi yang saat ini disebut sebagai Gunung Anyar yang saat ini menjadi pusat aktivitas Merapi. Batuan dasar dari Merapi diperkirakan berumur Merapi Tua. Sedangkan Merapi yang sekarang ini berumur sekitar 2000 tahun. Letusan besar dari Merapi terjadi di masa lalu yang dalam sebaran materialnya telah menutupi Candi Sambisari yang terletak ± 23 km selatan dari Merapi. Studi stratigrafi yang dilakukan oleh Andreastuti (1999) telah menunjukkan bahwa beberapa letusan besar, dengan indek letusan (VEI) sekitar 4, tipe Plinian, telah terjadi di masa lalu. Letusan besar terakhir dengan sebaran yang cukup luas menghasilkan Selokopo tephra yang terjadi sekitar sekitar 500 tahun yang lalu. Erupsi eksplosif yang lebih kecil teramati diperkirakan 250 tahun lalu yang menghasilkan Pasarbubar tephra.

SEJARAH ERUPSI

Tipe erupsi Gunung Merapi dapat dikategorikan sebagai tipe Vulkanian lemah. Tipe lain seperti Plinian (contoh erupsi Vesuvius tahun 79) merupakan tipe vulkanian dengan daya letusan yang sangat kuat. Erupsi Merapi tidak begitu eksplosif namun demikian aliran piroklastik hampir selalu terjadi pada setiap erupsinya. Secara visual aktivitas erupsi Merapi terlihat melalui proses yang panjang sejak dimulai dengan pembentukan kubah lava, guguran lava pijar dan awanpanas (pyroclastic flow).
Merapi termasuk gunungapi yang sering meletus. Sampai Juni 2006, erupsi yang tercatat sudah mencapai 83 kali kejadian. Secara rata-rata selang waktu erupsi Merapi terjadi antara 2 – 5 tahun (periode pendek), sedangkan selang waktu periode menengah setiap 5 – 7 tahun. Merapi pernah mengalami masa istirahat terpanjang selama >30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunungapi. Memasuki abad 16 kegiatan Merapi mulai tercatat cukup baik. Pada masa ini terlihat bahwa waktu istirahat terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 sampai dengan tahun 1658.

Evolusi Gunung Merapi

Sejarah letusan gunung Merapi mulai dicatat (tertulis) sejak tahun 1768. Namun demikian sejarah kronologi letusan yang lebih rinci baru ada pada akhir abad 19. Ada kecenderungan bahwa pada abad 20 letusan lebih sering dibanding pada abad 19. Hal ini dapat terjadi karena pencatatan suatu peristiwa pada abad 20 relatif lebih rinci. Pemantauan gunung api juga baru mulai aktif dilakukan sejak awal abad 20. Selama abad 19 terjadi sekitar 20 letusan, yang berarti interval letusan Merapi secara rata-rata lima tahun sekali. Letusan tahun 1872 yang dianggap sebagai letusan terakhir dan terbesar pada abad 19 dan 20 telah menghasilkan Kawah Mesjidan lama dengan diameter antara 480-600m. Letusan berlangsung selama lima hari dan digolongkan dalam kelas D. Suara letusan terdengar sampai Kerawang, Madura dan Bawean. Awan panas mengalir melalui hampir semua hulu sungai yang ada di puncak Merapi yaitu Apu, Trising, Senowo, Blongkeng, Batang, Woro, dan Gendol.

Awan panas dan material produk letusan menghancurkan seluruh desa-desa yang berada di atas elevasi 1000m. Pada saat itu bibir kawah yang terjadi mempunyai elevasi 2814m (;bandingkan dengan saat ini puncak Merapi terletak pada elevasi 2968m). Dari peristiwa-peristiwa letusan yang telah lampau, perubahan morfologi di tubuh Gunung dibentuk oleh lidah lava dan letusan yang relatif lebih besar. Gunung Merapi merupakan gunungapi muda. Beberapa tulisan sebelumnya menyebutkan bahwa sebelum ada Merapi, telah lebih dahuiu ada yaitu Gunung Bibi (2025m), lereng timurlaut gunung Merapi. Namun demikian tidak diketahui apakah saat itu aktivitas vulkanik berlangsung di gunung Bibi. Dari pengujian yang dilakukan, G. Bibi mempunyai umur sekitar 400.000 tahun artinya umur Merapi lebih muda dari 400.000 tahun. Setelah terbentuknya gunung Merapi, G. Bibi tertimbun sebagian sehingga saat ini hanya kelihatan sebagian puncaknya. Periode berikutnya yaitu pembentukan bukit Turgo dan Plawangan sebagai awal lahirnya gunung Merapi. Pengujian menunjukkan bahwa kedua bukit tersebut berumur sekitar maksimal 60.000 tahun (Berthomrnier, 1990). Kedua bukit mendominasi morfologi lereng selatan gunung Merapi.

Pada elevasi yang lebih tinggi lagi terdapat satuan-satuan lava yaitu bukit Gajahmungkur, Pusunglondon dan Batulawang yang terdapat di lereng bagian atas dari tubuh Merapi. Susunan bukit-bukit tersebut terbentuk paling lama pada, 6700 tahun yang lalu (Berthommier,1990). Data ini menunjukkan bahwa struktur tubuh gunung Merapi bagian atas baru terbentuk dalam orde ribuan tahun yang lalu. Kawah Pasarbubar adalah kawah aktif yang menjadi pusat aktivitas Merapi sebelum terbentuknya puncak.
Diperkirakan bahwa bagian puncak Merapi yang ada di atas Pasarbubar baru terbentuk mulai sekitar 2000 tahun lalu. Dengan demikian jelas bahwa tubuh gunung Merapi semakin lama semakin tinggi dan proses bertambahnya tinggi dengan cepat nampak baru beberapa ribu tahun lalu. Tubuh puncak gunung Merapi sebagai lokasi kawah aktif saat ini merupakan bagian yang paling muda dari gunung Merapi. Bukaan kawah yang terjadi pernah mengambil arah berbeda-beda dengan arah letusan yang bervariasi. Namun demikian sebagian letusan mengarah ke selatan, barat sampai utara. Pada puncak aktif ini kubah lava terbentuk dan kadangkala terhancurkan oleh letusan. Kawah aktif Merapi berubah-ubah dari waktu ke waktu sesuai dengan letusan yang terjadi. Pertumbuhan kubah lava selalu mengisi zona-zona lemah yang dapat berupa celah antara lava lama dan lava sebelumnya dalam kawah aktif Tumbuhnya kubah ini ciapat diawali dengan letusan ataupun juga sesudah letusan. Bila kasus ini yang terjadi, maka pembongkaran kubah lava lama dapat terjadi dengan membentuk kawah baru dan kubah lava baru tumbuh dalam kawah hasil letusan. Selain itu pengisian atau tumbuhnya kubah dapat terjadi pada tubuh kubah lava sebelumnya atau pada perbatasan antara dinding kawah lama dengan lava sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan kawahkawah letusan di puncak Merapi bervariasi ukuran maupun lokasinya. Sebaran hasil letusan juga berpengaruh pada perubahan bentuk morfologi, terutama pada bibir kawah dan lereng bagian atas. Pusat longsoran yang terjadi di puncak Merapi, pada tubuh kubah lava biasanya pada bagian bawah yang merupakan akibat dari terdistribusikannya tekanan di bagian bawah karena bagian atas masih cukup kuat karena beban material.

Lain halnya dengan bagian bawah yang akibat dari desakan menimbulkan zona-zona lemah yang kemudian merupakan pusat-pusat guguran. Apabila pengisian celah baik oleh tumbuhnya kubah masih terbatas jumlahnya, maka arah guguran lava masih dapat terkendali dalam celah yang ada di sekitarnya. Namun apabila celah-celah sudah mulai penuh maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan tumbuhnya kubah. Sehingga pertumbuhan kubah lava yang sifat menyamping (misal, periode 1994 – 1998) akan mengakibatkan perubahan arah letusan. Perubahan ini juga dapat terjadi pada jangka waktu relatif pendek dan dari kubah lava yang sama. Pertumbuhan kubah lava ini berkembang dari simetris menjadi asimetris yang berbentuk lidah lava. Apabila pertumbuhan menerus dan kecepatannya tidak sama, maka lidah lava tersebut akan mulai membentuk morfologi bergelombang yang akhirnya menjadi sejajar satu sama lain namun masih dalam satu tubuh. Alur pertumbuhannya pada suatu saat akan mencapai titik kritis dan menyimpang menimbulkan guguran atau longsoran kubah. Kronologi semacam ini teramati pada th 1943 (April sampai Mei 1943).

Penumpukan material baru di daerah puncak akibat dari pertumbuhan kubah terutama terlihat dari perubahan ketinggian maksimum dari puncak Merapi. Beberapa letusan yang dalam sejarah telah mengubah morfologi puncak antara lain letusan periode 1822-1823 yang menghasilkan kawah berdiameter 600m, periode 1846 – 1848 (200m), periode 1849 (250 – 400m), periode 1865 – 1871 (250m), 1872 – 1873 (480 – 600 m), 1930, 1961. (Sumber artikel : Badan Geologi/(dipetik dari http://alumni.ugm.ac.id Portal Alumni Universitas Gadjah Mada)

Rabu, 01 Desember 2010

Keabadian Wayang Ukur Sang Maestro

oleh R. Toto Sugiharto
(Sudah dipublikasikan di Majalah Dalang Ngumandang – Vol. 1 April 2010)

SIGIT Sukasman dan wayang ukur adalah loro loroning atunggal. Dua tetapi satu. Dua dalam satu. Dua anasir dalam satu eksistensi. Nama Sukasman identik dengan wayang ukur. Keberadaan wayang ukur pun tidak dapat lepas dari kreatornya: Sigit Sukasman.
Tak perlu ragu lagi. Sigit Sukasman memang Maestro. Eksistensinya berada di area alternatif, antara wayang klasik yang taat pakem dan wayang ukur yang penuh energi kreatif berikut kemungkinan-kemungkinan eksplorasi pada wilayah penyajiannya. Sehingga, tidak mengherankan bila banyak orang yang mencemooh. Tetapi, kelak tentu banyak pula yang mengaguminya.
Perihal buah kreativitasnya itu bisa disaksikan di kediamannya, Mergangsan II/1308 Yogyakarta. Di sana ada patung jaran sembrani (kuda terbang) berukuran besar setinggi tiga meter dan beberapa patung berukuran biasa. Semua dari bahan fiberglass. Dan, tentu saja wayang ukur. Sama seperti lazimnya wayang kulit, keunikan wayang ukur ada pada detail anatomi masing-masing tokoh wayang. Ada unsur yang lebih ditonjolkan. Sehingga, wayang kulit hasil kreasi Sukasman lebih dari sekadar dekoratif. Bentuk anatominya yang detail dan menonjol itu mencerminkan karakter masing-masing tokoh wayang secara lebih otentik.
Sebenarnya tidak sulit memahami makna wayang ukur karya Sukasman. Seperti kalau penciptanya menjelaskan kepada setiap penanya. Wayang ukur adalah karya wayang kulit yang merupakan proses mencari ukuran baru dari ukuran yang sudah ada. Itulah wayang ukur, seperti pernah dijelaskan Sukasman kepada wartawan.
Pengurus Sekretariat Nasional Wayang Indonesia, Sulebar M Soekarman menggarisbawahi Sukasman sebagai seniman Jawa yang sangat njawani. Dengan telaten metani (memilah) yang nampak dan tak nampak untuk merajut keagungan kebudayaan Nusantara. Almarhum adalah seniman modern yang kental dengan akar tradisi, pembaharu seni wayang dalam rupa visi, dan filsafati. Sebagai pribadi yang yakin dan konsisten akan panggilan hati nuraninya dalam olah seni, rasa, dan pikir.
“Sukasman itu pribadi luar biasa. Wayang ukur adalah pencapaian dia dalam olah seni rupa, seni pedalangan, dan aspek rasio dalam kebudayaan. Dulu kami sering berdiskusi. Kalau ada ide dan baru mood, dia bisa ngomong berapa pun lamanya," ucap Sulebar.
*
Seorang rekan wartawan pernah mengeluh tidak bisa mengakses Pak Kasman. Karenanya, ia heran demi melihat saya bisa wawancara dengan beliau. Padahal, ia sudah berulang kali minta waktunya untuk mewawancarai Pak Kasman. Saya beruntung dibanding kawan saya itu. Tapi, tahukah dia, mengapa saya bisa dengan mudah diterima Pak Kasman? Ya, tentu dia tidak tahu kalau jauh hari sebelumnya saya memang sudah sering datang ke rumah Pak Kasman. Bila ada waktu luang, saya menyempatkan mampir di rumahnya. Sekadar ngobrol. Baru akhirnya setelah agak akrab, beliau tidak bisa menolak tatkala saya meminta waktunya untuk wawancara.
Seingat saya, waktu itu Pak Kasman tengah mempersiapkan pergelaran wayang ukur – karya masterpiece beliau – di kediamannya. Lakonnya Bambang Ekalaya. Saya mengorek latar belakang pemilihan lakon dan juga konsep beliau tentang wayang ukur. Tapi, saya hanya mendapatkan materi soal latar belakang pementasan lakon. Tentang wayang ukur, kata Pak Kasman, kelak di lain waktu saja. Dan, waktu itu ketika saya jadi menonton Bambang Ekalaya, saya pun hanya bisa mencoba-coba menafsir-nafsir. Mungkin yang dimaksud wayang ukur lebih kepada tata artistik antara pementasan wayang ukur (wayang kulit khas konsep Pak Kasman) yang dipadukan dengan tarian Arjuna dan Srikandi yang diperankan manusia sebagai wayang orang. Maaf, saya lupa nama penari yang memerankan Arjuna dan Srikandi. Juga, dalang dan tiga narator. Satu yang saya ingat, Bambang Paningron. Kurang lebih seperti pemanggungan multidimensi: dari Arjuna dan Srikandi sebagai wayang kulit menjelma dua sejoli sosok manusia dalam dunia wayang orang.
Juga, ini: karakter tokoh wayang yang dinarasikan oleh empat aktor dan salah seorang berperan sebagai dalang. Begitulah tafsiran saya mengenai wayang ukur Pak Kasman. Lalu, di sela-sela pementasan itu, ternyata para pesindennya bisa leluasa mengiringi dalang dengan tembang-tembangnya diselingi saling berbalas SMS melalui ponsel masing-masing. Ya, tentu untuk yang terakhir bukan bagian dari konsep estetika wayang ukur Pak Kasman.
Tapi, sebenarnya memang sulit untuk bisa mengorek informasi – tentu saja informasi yang otentik dari pikiran beliau dan akurat. Dalam hal demikian, Pak Kasman seperti tertutup. Ia berani ngomong blak-blakan tapi kemudian sering berubah-ubah pendirian. Satu hal itu memang bisa menyulitkan wartawan.
Sebagian dari pikiran Pak Kasman, bila diformulasikan dalam abstraksi, saya pikir tentang wayang dan peranannya dalam peristiwa atau pengembangan kebudayaan dan kemanusiaan.
Suatu kali, Pak Kasman memberi kesempatan kepada saya untuk merekam pikirannya. Wawancara tersebut – atau tepatnya obrolan kami itu – sekitar Februari – Maret 2007 dan saya simpan di file. Sebenarnya waktu itu saya ada rencana mengorek pokok-pokok pikiran Pak Kasman dan bila memungkinkan membukukannya. Tapi, kemudian saya ada pekerjaan riset di Jawa Timur. Uniknya, tiga tahun kemudian, ketika saya membuka file Pak Kasman dan menulis obituari ini, saya juga sedang mengikuti undangan workshop dan riset di Jawa Timur.
Seusai riset pada 2007, sepulang dari Jatim, saya kembali menyambangi Pak Kasman di kediaman beliau, Kampung Mergangsan, Yogyakarta. Tetapi, lazimnya seniman seunik Pak Kasman, alih-alih menanggapi keinginan saya untuk melanjutkan wawancara, beliau malah menyodorkan berkas klipingan tulisan budayawan dan ngobrol-ngobrol ringan. Tetapi sebenarnya, di saat pembicaraan disampaikan secara lebih rileks itu justru terlontar percikan-percikan pikiran otentik beliau.
Saya pikir, memang dibutuhkan proses untuk bisa menangkap letikan-letikan pikiran Pak Kasman yang dahsyat dan otentik. Itu artinya, membutuhkan waktu relatif panjang dan energi berlebih. Sayang, saya tidak bisa telaten menyambangi beliau lantaran saya juga berkejaran dengan waktu dan kesibukan sebagai pekerja serabutan. Sampai akhirnya berita duka itu datang. Sang Maha Kuasa memanggil hamba-Nya, Sigit Sukasman, Kamis, 29 Oktober 2009. Pak Kasman menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 73 tahun di RS Panti Rapih Yogyakarta, setelah menjalani rawat inap akibat komplikasi gangguan jantung dan paru-paru.
Adapun mengenai materi wawancara itu, kurang lebih demikian yang bisa saya transkrip:
“Wayang untuk antisipasi secara tak langsung karena semua agama ingin menang politik. Jawa bukan politik, melainkan kreativitas. Itu yang diutamakan. Jangan ikut kritik pemerintahan. Tak perlu jauh-jauh...”
Maksudnya – tentu saja bagian ini sudah interpretasi saya – keberadaan wayang dan peranannya adalah dapat mengantisipasi hal-hal yang sama-sama memiliki kekuatan. Wayang berada di wilayah independen. Tapi, ia bisa menjadi kekuatan untuk posisi tawar, baik dalam kancah politik maupun sosial kemanusiaan umumnya. Sehingga, bagi pekerja budaya dalam konteks pelestarian wayang, seperti dalang, sinden, pengrawit, dan pihak terkait tidak perlu mematok target terlalu jauh dari konteks seni dan budaya.
Kemudian, ada lagi isi pikiran beliau, seperti ini:
“Ada yang menulis itu, Ki Juru Bangunjiwa – jurnalis dan esais spesial tema-tema Jawa dan kearifan lokal – ramalan itu yang membuat orang yang butuh gesang sae (hidup lebih baik). Dunia sudah tak bisa dilihat, kalau bisa tahu yang akan datang. Kalabendu itu sejak Jayabaya sudah ada.”
Bagian ini menurut saya sangat menep (matang dan mendalam) dan inspiratif. Mungkin kita belum menyadari, bahwa ada benarnya pikiran Pak Kasman. Ramalan itu dibutuhkan bagi orang-orang yang menginginkan hidupnya lebih baik. Tentu kalau kita memahami lebih mendalam, ada ironi misalnya, ketika kita mencermati si peramal sendiri yang memiliki kemampuan membaca kemungkinan masa depan kehidupan kliennya alias orang lain, sementara si peramal sendiri kehidupannya ya tetap begitu-begitu saja. Juga, andaikata kita sudah mengetahui kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang, maka misteri hidup di dunia tidak bisa lagi dinikmati. Hidup jadi tanpa suspence, tiada ketegangan.
Lalu, kata Pak Kasman, “sekarang zamannya kudu malah campur (harus membaur). Bukan hanya dengan agama, dengan budaya. Dihadang? Jalan terus. Seperti Janaka, kawin terus... (tentu saja bagian terakhir ini hanya guyonan – RTS).”
Maksudnya, masa sekarang ini – yang secara kebetulan memang sudah memasuki era informasi global – semua anasir menempati media sama yang digerakkan oleh teknologi jaringan internasional. Semua anasir budaya dan ideologi bertemu di media yang sama yang disediakan dari produk teknologi informasi global: dunia maya.
Sekarang yang bisa dilihat, bahwa semua serba relatif. Kalau dahulu, menurut Pak Kasman, antara kaum imperialis yang pandai dengan pribumi yang bodoh bisa terlihat mencolok – tentu bila digunakan ukuran modernisme Eropa – maka beliau menyatakan, “Belanda melihat orang Indonesia bodoh, maka berjodoh bila bertemu dengan Belanda yang pandai. Karena, Belanda akhirnya bisa menjajah, memeras. Bangsa Indonesia harus belajar dari kepandaian Belanda karena berjodoh. Orang bodoh jodohnya belajar kepada yang pintar. Dengan orang Cina kita juga bisa belajar soal mengelola uang. Saat ini zamannya semua harus mampu membaur.”
Begitu antara lain pikiran Pak Kasman. Dan, ada satu lagi yang mungkin bisa dijadikan bahan renungan kita. Begini:
“Orang yang terkuat di dunia adalah dia yang hidupnya menderita. Nek dipala saya kuat (bila dianiaya semakin kuat –RTS). Kemanusiaannya nambah siji (bertambah satu –RTS). Bukan penuh dendam.”
Saya pikir, ungkapan beliau ini sangat religius. Bukankah dalam ajaran agama juga diserukan, orang-orang yang teraniaya justru yang doanya didengarkan oleh-Nya? Itulah, menurut saya letak kekuatan orang yang hidupnya menderita. Semakin mereka dianiaya, maka posisi mereka pun semakin kuat.
Lalu, saya ingat ungkapan-ungkapan yang pernah dilontarkan Pak Kasman di awal-awal pertemuan kami. Kata beliau, “aku iki digencet. Digencet (ditekan –RTS).” Maksudnya, Pak Kasman pernah mengalami masa hidup sulit lantaran mendapat tekanan secara politis. Sampai akhirnya saya menyalaminya ketika beliau menerima penghargaan dari Gubernur Provinsi DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai budayawan berprestasi dan berjasa kepada negara dan bangsa. Kemudian, sahabat beliau, Yoyok Hadi Wahyono berseloroh, “Piye saiki? Wus gak digencet, ta?(Bagaimana sekarang? Sudah tidak ditekan, kan? –RTS)....”
Pak Kasman tersenyum.
Selamat jalan, Sang Maestro. Kelak, wayang ukur itu semakin eksis demi mengabadikan namamu. Wayang ukur itu menjadi saksi betapa harum nama Sigit Sukasman di jagad pakeliran.
Surem-surem diwangkara kingkin lir manguswa kang layon….

====================================================================

Sigit Sukasman dan Jejak Wayang Ukur

SIGIT SUKASMAN (Yogyakarta, 10 April 1937 – 29 Oktober 2009 – Seniman – Alumnus ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) 1962 – Peserta World Fair di New York 1964 – Merantau di Belanda (1964 – 1974) – Buah karya berupa wayang ukur sebanyak 400-an buah – Penghargaan Gubernur Provinsi DY, Sri Sultan HB X 2004 – Penghargaan Gudang Garam Life Time Achievement (RTS/dari berbagai sumber)

Selasa, 30 November 2010

Kabinet Kantong Bolong

oleh R Toto Sugiharto
WARUNG Mas Swanten memang hanya sepetak. Itu pun hanya menumpang di tembok bagian rumah tua kosong tak berpenghuni. Menu utamanya juga hanya sop. Cuma sayur sop. Sayur yang dibuat dari kobis, wortel, tomat, bawang putih, sedikit garam, dan bumbu untuk sop serta sambel ditabur daun kemangi, bawang merah goreng. Lauknya cukup tempe goreng. Bisa juga kerupuk. Minumnya teh nasgithel: panas, legi (manis) dan kenthel (kental). Tapi, meski hanya sepetak, pelanggan Mas Swanten banyak. Dari juru parkir sampai pejabat elit berdasi – maksudnya salesman berdasi.
Kalau di luar mereka berkompetisi, tapi begitu sudah di warung Mas Swanten, semua pada akur bagai sesama sedulur, damai seperti dengan kerabat. Andaipun berdebat, itu sebatas untuk berdemokrasi. Yang jelas, suara yang terdengar di warung Mas Swanten benar-benar suara murni. Tidak direkayasa. Tidak pula dimanipulasi. Tidak berlaku off the record. Kalau mau membuktikan kebenarannya, ya mangga, dikros-cek sendiri.
Naah, ini cerita tatkala mereka, para pelanggan itu, mampir minum dan sarapan sop di warung Mas Swanten.
Hari masih pagi. Toko-toko juga baru disapu halaman teras dan parkirannya. Rolling door-nya juga baru didorong para pelayannya, perempuan-perempuan muda yang bertubuh mungil-mungil dengan rambut rebounding-an. Ada juga yang berjilbab.
Sop baru saja matang. Masih panas dan kemepul uapnya. Tempe goreng juga sudah terhidang di meja. Nasi di bakul juga sudah menanti sedari warung buka. Dan, ini lagi, ooh, harumnya bawang goreng...!
Mas Swanten melayani pelanggan dengan ramah. Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Tanda sebuah pesan pendek masuk.
“Wah, ada SMS masuk. Dari siapa ya...?” celetuk Mbak Mitayani menggoda.
Mas Swanten mesam-mesem, “Siapa ta, Mbak... Sebentar...,” ia lalu membuka dan membacanya dalam hati.
“Dari siapa, Mas? Rahasia ya?” goda Mbak Mitayani.
“Nggak tahu aku. Nggak kenal. Isinya juga...,” tukas Mas Swanten ragu untuk melanjutkan.
“Memang kenapa? Teror ya?”
“Oke, kalau kalian mau tahu. Kubacakan ya...?”
Semua menyimak. Sorot masing-masing mata tertuju pada Mas Swanten.
“Sultan nantang pusat untuk referendum tentang DIY? Sekalian aja merdeka biar tambah ramai. Gitu. Sudah,” ucap Swanten datar.
“Woo. Soal itu lagi?” celetuk Santri Ali.
“Memang kenapa sih? Mulai hangat lagi ya?” timpal Pakde Sastro Becak.
“Sultan itu kan menanggapi pidatonya SBY. Kata SBY tak ada sistem monarkhi dalam republik. Semua harus sama,” Santri Ali menimpali.
Mendadak ponsel Mas Swanten berbunyi lagi, tanda pesan baru masuk.
“Apa lagi ini...?” Mas Swanten membuka kotak masuk. Dari nomor yang sama. Isi pesannya juga sama. Tapi, kali kedua itu diberi identitas: Aris.
“Sama dengan yang tadi. Ooh, namanya Aris. Siapa ya? Perasaan nggak kenal,” ujar Mas Swanten.
“Kalau Mas Swanten nggak kenal sama pengirimnya, berarti Mas Swanten yang terkenal,” ujar Santri Ali.
“Fan kali, Mas?” sambut Mbak Mitayani.
“Boleh juga.”
Lagi, handphone Mas Swanten berbunyi. Sebuah pesan masuk.
“Masuk lagi, Mas Swanten. Waaah, panen SMS nih...,” goda Ni Luh Saraswati.
Mas Swanten cengengesan, “Asal bukan tagihan saja. Coba, ya. Ooh, temanku dari Sragen. Mas Sutiyatmoko Wardoyo. Sebentar, Mas Moko nulis, setelah Merapi meletus.... kok tiba-tiba ada letusan yang tak kalah dahsyatnya.... Saya tetap dukung Yogyakarta sebagai DIY... Sudah.”
“Naaah, itu notabene dari kawasan Eks Karesidenan Surakarta, Provinsi Jawa Tengah juga mendukung Keistimewaan Yogyakarta,” sambut Santri Ali.
Obrolan pun semakin gayeng. Topiknya semakin mengerucut pada persoalan RUUK (Rancangan Undang-Undang Keistimewaan) DIY yang tidak juga kunjung diselesaikan DPR RI dan Pemerintah Pusat.
“Kayaknya memang bakal diganjal,” celetuk Mbak Mitayani.
“Lebih tepatnya, buat ganjalan meja pimpinan DPR RI,” sambar Pakde Sastro Becak mulai sinis.
Santri Ali mesem kecut.
Lagi-lagi, sebuah pesan masuk ke ponsel Mas Swanten. Secepatnya Mas Swanten menyambar ponsel di atas toples rokok, “Nah, ini saya juga kenal. Beliau ini guide wisata Keraton. Namanya Pak Slamet Suwanto.”
“Apa Mas isinya?”
“Bener nih, kalian mau tahu isinya?”
“Ya iyalah. Siapa tahu ada hubungannya?”
“Ya, tentu. Lha wong guide Keraton? Sebentar kubacakan ya...,”
Semua mengangguk.
“Mbok digoleki wong partai sing gebeled ngising kepingin dadi gubernur neng Yogyakarta sapa?”
Mbak Mitayani terbelalak, “Alamaaak...?! Be’ol di Kali Code kali?!”
Semua pun tertawa.
“Apa sih, Mas Swanten, maksudnya?” bertanya Ni Luh Saraswati yang baru setahun tinggal di Yogyakarta.
Yang lain masih terbahak-bahak, “Aah, sampean pura-pura nggak tahu,” sambar Santri Ali di sela-sela tawanya.
“Maksudnya, siapa yang mau dikasih pisang? Gitu lho Mbak Luh” sahut Pakde Sastro Becak bercanda.
“Yang benar, Mas? Apa hubungannya?” tanya Ni Luh Saraswati tak yakin.
“Bener. Beliau itu guide Keraton. Memang isinya gitu,” bela Swanten, “Mau lihat sendiri?”
“Nggak! Percaya saja sama Mas Swanten. Tapi, apa betul artinya gitu? Yang dibilang Pakde Sastro tadi?!” kejar Ni Luh Saraswati penasaran.
Beberapa masih terkekeh-kekeh.
“Elok! Yang pro dan yang kontra bisa masuk ke hape Mas Swanten.”
“Itulah hebatnya Mas Swanten. Beliau ini mampu mengelola atau menampung semua suara. Sampai soal yang gebeled ngising tadi itu. Semuanya sama-sama menantang.”
“Terus terang, aku belum ngeh sama artinya pesan itu. Yang bener gimana sih?”
“Begini, Mbak Luh. Gebeled ngising itu kalau arti harfiahnya keburu pengin buang air besar. Nah, maknanya dalam konteks politik, ambisi ingin jadi gubernur di Jogja. Gitu, Mbak.”
“Ooh, sial Pakde Sastro Becak..!” keluh Ni Luh Saraswati merasa dikerjai, “Lha pisangnya?” kejarnya penasaran.
“Pisangnya biar dimakan orang partai yang berani menggantikan Sultan. Itu maksudnya. Ha ha ha ha...!” tukas Santri Ali.
“Iih, jorok ya?!” sembur Ni Luh Saraswati.
“Aah, embuuuh! Aku mau kerja. Mana sopnya, Mas?” sahut Mbak Mitayani.
Mas Swanten mengulurkan rantang yang sudah diisi sop panas, nasi, dan tempe goreng serta kerupuk. Tangan Mbak Mitayani yang bersih dan kuning langsat menerima rantangnya.
“Mangga semuanya...,” sapa Mbak Mitayani kepada pelanggan.
“Mangga, Mbak...!” sahut mereka serempak.
“Sebentar, Mbak Mita. Gimana rencana fasilitas hotspot buat warung Mas Swanten?” tanya Santri Ali menahan langkah Mbak Mitayani dan Ni Luh Saraswati.
“Ya, nanti kusampaikan juraganku,” sahut Mbak Mitayani.
“Oke, salam buat Tante Khusnul, ya, juragan paling baik dan berhati mulia,” tukas Santri Ali.
“Sayangnya aku nggak ada recehan. Udah ya...!” ucap Mbak Mitayani sembari menyambar lengan Ni Luh Saraswati meninggalkan warung Mas Swanten.
“Weeeh, aku tulus lho, Mbak...,” seru Santri Ali.
“Jadi, ini ceritanya SBY sudah menantang kita, kawula Ngayogyakarta Hadiningrat?” sungut Pakde Sastro Becak.
“Ya, bisa juga ada yang bilang, Sultan yang nantang SBY, ngajak referendum. Seperti SMS-nya Aris itu. Tinggal siapa yang melihat,” timpal Santri Ali.
“Gimana, Mas Swanten? Aku kok malah jadi bingung,“ keluh Pakde Sastro Becak.
“Ya, namanya politik, Pakde Sastro. Memang bikin bingung kita yang hanya rakyat jelata.”
“Mas Swanten juga bingung?” selidik Pakde Sastro Becak.
“Ya bingung. Saya kan juga kawula alit seperti sampean, Pakde?”
Pakde Sastro Becak terbahak-bahak.
“Sayang, cuma sepenggal-sepenggal begitu SMS-nya ya...?”
“Ya, pulsanya juga biar hemat, Mas Santri.”
“Ayo, tanggapi, Mas Swanten?” sambar Pakde Sastro Becak.
“Nggak punya pulsa...!”
Mereka terbahak-bahak.
“Kalau aku melihatnya gini. Orang Jogja kayaknya yakin, nggak akan ada orang yang berambisi dan berani mencalonkan diri jadi gubernur di provinsi DIY ini. Sementara yang lain juga menuntut hak politiknya. Supaya semua dapat hak yang sama. Bisa juga ujung-ujungnya pada persoalan hak politik untuk memimpin Jogja. Untuk sama-sama bisa jadi gubernur. Gitu ya, Mas Swanten?” pancing Santri Ali.
“Lha mangga saja. Berpendapat itu kan boleh saja.”
“Kalau pendapat Mas Swanten?” timpal Pakde Sastro Becak.
“Ini kan kalau di wayang, lakonnya Ratu Dadi Petruk,” urai Mas Swanten akhirnya.
“Lho, kok bisa gitu, Mas Swanten? Setahuku yang ada kan lakon Petruk Dadi Ratu?” sambar Santri Ali semangat karena ide orisinil sudah dilontarkan Mas Swanten.
“Lakon yang itu sudah lewat. Sekarang itu lakonnya Ratu Dadi Petruk. Presiden SBY itu kan rumangsane Ratu di Indonesia, menguasai Indonesia.”
“Padahal...?” pancing Santri Ali.
“Padahal ya... Petruk itu. Politiknya politik kantong bolong. Akhirnya, produknya ya Kabinet Kantong Bolong.”
“Lalu, mestinya gimana, Mas Swanten?”
“Aku tahu maksud Mas Swanten. Mungkin seperti Jimly yang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ya, Mas. Biarlah di Indonesia tetap ada yang istimewa, seperti Jogja. Bukankah Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika?”
“Ya, begitulah. Apa yang diomongkan SBY itu bisa bertentangan dengan UUD 1945 lho. Bukankah daerah istimewa juga sudah diakui di UUD?” ucap Gus Kusen yang lama berdiam.
“Memang, masalah ini ibarat asap, apinya berasal dari omongan SBY, dia bilang bentuk keistimewaan DIY seperti monarkhi. Itu harus diklarifikasi. DIY bukan monarkhi lha wong produk hukumnya melalui demokrasi. Padahal, sekian produk hukum, seperti Perda dan kebijakan lain di Jogja dari mekanisme politik di legislatif kan, Mas?” timpal Santri Ali.
“Ya, begitulah, Mas kalau dia rumangsane jadi Raja Indonesia. Sementara dia melihat Sultan hanya Raja di Jogja.”
“Berarti lakonnya yang benar, Semar Dadi Ratu, Mas Swanten? Pak SBY kan konon mengidentifikasi sebagai Semar?” pancing Gus Kusen.
“Ya, bisa saja. Di negeri kita kan bebas. Mau jadi Semar, Gareng, Petruk, apa Bagong, ya mangga saja...,” sahut Mas Swanten enteng.
“Tapi, Semar kan sudah dipakai Pak Harto?!” sela Pakde Sastro Becak.
“Bedanya sama Pak Harto, kalau Pak Harto itu Semar Mesem. Lha Pak SBY apa Semar Mendhem?” sahut Santri Ali.
“Bisa saja gitu. Mendhem itu kan mabuk. Mabuk pujian, pencitraan, sementara negerinya diosak-asik bencana,” sambut Mas Swanten.
“Ya, tapi jadi Raja di Indonesia kan juga hanya punya kesempatan dua kali periode. Setelah itu nggak boleh dipilih lagi,” ujar Gus Kusen.
“Kecuali istrinya maju nyapres. Terus kelak anaknya. Cucunya,” susul Pakde Sastro Becak.
“Tapi, kan bukan SBY lagi. Beda dengan Jogja,” sambar Santri Ali.
“Gimana Mas kalau Jogja?”
“Kalau Jogja, Sultan itu tetap Raja di Jogja. Meskipun sudah nggak jadi gubernur, misalnya.”
“Gitu ya, Mas? Lha mbok ya gitu aja, Mas?”
“Ya, sana sampean matur pada Ngarsa Dalem,” balas Mas Swanten.
“Kalau saya melihatnya agak lain, Mas Swanten.”
“Ya gimana, Gus Kusen?”
“Menurut saya, sekarang ini kan jamannya Senjakala Mataram. Sultan itu ibaratnya Kaisar terakhir. The Last Emperor. Ini juga karena tekanan modernisasi, rasionalisasi. Karena, sistem kerajaan itu sering larinya ke mistik, klenik, nggak rasional.”
“Begitu ya, Gus Kusen?”
“Siapa yang kuat melawan modernisasi? Dulu awalnya memang penguasa itu, yang celakanya banyak dari bangsawan, menindas rakyat. Maka, ada demokrasi, disusul modernisasi. Dan, dari kerajaan mau berbagi. Jadilah gayung bersambut. Akhirnya jadi seperti sekarang ini. Coba saja kita simak lagi awal-awal berdirinya republik. Dan, juga sejarah di dunia, cikal bakal tumbuhnya demokrasi.”
“Gitu ya, Gus Kusen?”
“Menurutku lho, Mas. Seingatku aku pernah baca buku ya seperti itu.”
Sunyi pun merayap. Diam. Tak ada yang bicara. Mereka seperti ingin merenungkan kalimat Gus Kusen.
Lagi-lagi, sebuah pesan masuk ke ponsel Mas Swanten. “Wah, kok bertubi-tubi? Padahal pulsaku belum isi ulang...,” celetuk Mas Swanten.
“Ya sudah dibaca saja, Mas Swanten. Pasti isinya masih ada hubungannya.”
“Ya, benar. Ini ya..., percayalah wahyu Mataram gaib akan bekerja dengan caranya sendiri untuk menyelesaikan soal keistimewaan DIY.”
“Waaah, klenik lagi...,” celetuk Santri Ali, “dari siapa, Mas?” korek Santri Ali.
Mas Swanten mesam-mesem, “Yang guide Keraton tadi. Pak Slamet.”
“Pantas...!” seru Santri Ali.
Pakde Sastro Becak terkekeh-kekeh. Gus Kusen manggut-manggut. Pembeli yang lain terpingkal-pingkal. ***

Jumat, 26 November 2010

Pencuri di Gubuk Rabi’ah

SEORANG pencuri gelisah. Ia meninggalkan anak dan isterinya dengan sisa makanan hanya untuk sehari itu. Sementara waktu sudah merambat malam, ia belum mendapatkan barang curian.
Mendadak seorang lelaki tua menyapanya, “Hai! Kulihat kamu gelisah?”
“Betul, Tuan. Saya meninggalkan anak dan istri saya. Tak ada makanan di rumah.”
“Kamu pencuri, bukan?”
“Tuan tahu? Benar, Tuan.”
“Masuklah ke gubuk Rabi’ah Al Adawiyah. Kau bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan.”
Pencuri itu berseri-seri, “Begitu, Tuan? Setahuku, beliau memang tokoh termasyhur di negeri ini.”
“Sudahlah. Waktu keburu malam. Segeralah ke sana.”
“Terima kasih, Tuan,” tukas Pencuri itu menunduk dalam-dalam. Ia pun bermaksud menyalami lelaki tua itu, namun ternyata ia begitu saja raib dari hadapannya.
Pencuri itu pun bergegas menuju gubuk Rabi’ah. Ia memasuki gubuk itu. Pencuri itu tidak menemukan sesuatu yang dianggapnya berharga, kecuali sebuah kendi air. Ia pun bermaksud meninggalkan gubuk Rabi’ah.
Namun, Rabi’ah menangkapnya basah dan memanggilnya, “Hai...! Jika kamu pencuri sejati, kamu tidak akan pergi tanpa mengambil sesuatu.”
Pencuri itu menyahut dengan nada menghina, “Memang ada yang bisa kuambil?”
Rabi’ah menjawab, “Dasar pencuri miskin...! Ambillah air wudhu dari kendi itu. Masuklah ke ruang sujud. Shalatlah dua rakaat. Setelah itu kamu boleh pergi setelah kamu menerima sesuatu.”
Pencuri itu heran. Tapi, ia menurut saja, mengambil air dari kendi, berwudhu, dan memasuki ruang sujud di sudut gubuk Rabi’ah.
Saat si pencuri bertakbir, Rabi’ah pun mengangkat kedua tangannya dan menengadah ke langit-langit, “Tuhan, orang ini tidak menemukan apa-apa di gubuk ini. Karena itu, aku membawanya ke Pintu-Mu. Berikanlah kepadanya karunia dan rahmat-Mu....”
Pencuri itu terbenam dalam kehangatan aura spiritual di gubuk Rabi’ah. Ia pun melanjutkan shalatnya, melanjutkan lagi, dan lagi, hingga sepanjang malam. Sampai dini hari.
Saat subuh, Rabi’ah pun terbangun. Ia menemukan si pencuri masih bersujud, memohon ampunan dari-Nya. (RTS/sumber: Seyyed Hossein Nasr (Ed), 1987, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Bandung: Mizan: 2002)

Rabu, 24 November 2010

Ramalan

PERCAYAKAH Anda pada ramalan? Apakah ramalan bersifat fakta? Ataukah hanya imajinasi? Saya pernah menanyakan hal ini kepada beberapa kawan. Banyak yang tidak percaya. Tidak sedikit pula yang mengaitkannya dengan masalah keimanan dan melakukan penilaian. Seingat saya, ada kawan yang lebih terbuka. Waktu itu ia menjawab: ramalan akan bersifat fakta bila kita meyakini akan terjadi di kemudian hari. Sebaliknya, ramalan hanya imajinasi belaka jika kita tidak meyakini akan terjadinya hal itu.
Saya pun mengangguk saja. Memang, percaya atau tidak percaya, believe it or not, sebuah ramalan tidak lebih sebagai proses perhitungan spekulatif. Nilai probabilitasnya tinggi. Sama juga dengan ketidakmungkinannya. Boleh jadi semacam firasat atau isyarat, bagaimana kita akan meyakini kebenarannya? Isyarat atau firasat baru diakui kebenarannya bila ditemukan signifikansinya dengan fakta atau peristiwa yang sudah benar-benar terjadi, bukan? Tetapi, ingatkah Anda, kejatuhan Soeharto pada Mei 1998 sudah diramalkan tiga tahun sebelumnya oleh Permadi?
Di sebuah seminar di Yogyakarta, Permadi mengutarakan prediksi politiknya. Ia mengatakan, akan terjadi suksesi setelah 1997. Prediksi tersebut mungkin tidak terlalu berbahaya. Namun, dalam sebuah sesi dialog Permadi terjebak menjawab pertanyaan dari seorang peserta hingga mengarah pada ranah SARA (Suku – Agama – Ras – Antargolongan). Beberapa hari setelah menyampaikan prediksinya itu, Permadi ditangkap aparat keamanan. Polisi berdalih, Permadi telah memasuki area SARA dari materi yang diucapaknnya. Sebagian ucapan Permadi memang terpeleset pada persoalan ajaran agama tertentu. Sekitar dua bulan atau dua pekan sebelum Permadi melontarkan prediksinya di forum seminar, sebenarnya ia sudah mengungkapkannya dalam sebuah talkshow yang disiarkan di sebuah radio juga di Yogyakarta. Namun, aparat tiada bukti untuk memproses verbal.
Permadi pun diproses, diadili, dan masuk bui. Sementara waktu terus bergulir. Dan, terbukti –atau entah hanya kebetulan belaka, kepemimpinan Soeharto menuai protes dan menimbulkan reaksi mahasiswa menggelar gerakan demonstrasi besar-besaran. Klimaksnya adalah tuntutan mahasiswa mendesak Soeharto pensiun. Maka, Soeharto pun terpaksa menyadari posisinya sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat. Soeharto akhirnya memenuhi tuntutan mahasiwa, ia mundur pada 21 Mei 1998. Bukankah 1998 adalah angka setelah 1997, angka yang diramalkan Permadi?
Dari masa lalu kita bisa menyimak materi ramalan yang disampaikan para pujangga. Kita tentu tidak asing dengan ramalan Jayabaya, raja Kediri. Materi ramalan Jayabaya seputar masa sejumlah kerajaan dan pencapaian kejayaan serta pasang surutnya. Sampai memasuki abad ke-19 pujangga Ranggawarsita pun mengeksplorasi kemampuan meramal. Termasuk salah satu ramalannya yang tepat: emating pati patitis, yakni ketika Ranggawarsita meramalkan kematiannya sendiri di serat Sabda Jati. Untuk kasus ramalan tentang kematian pujangga legendaris yang sangat tepat perhitungannya itu, ada yang menganalisis hal itu sebenarnya sudah diketahui oleh sang pujangga. Alasannya, Ranggawarsita sudah diberitahu lebih dahulu karena hari kematiannya adalah pelaksanaan eksekusi hukuman mati yang dikenakan oleh Belanda. Kemungkinan lain, informasi tersebut merupakan sisipan yang ditulis oleh pujangga lain pascakematian Ranggawarsita.
Kembali pada materi ramalan. Bisakah kita membatalkan sebuah ramalan? Seperti misalnya, seandainya Permadi tidak ditangkap polisi, apakah ramalannya tidak mustajab? Sebaliknya, seandainya Permadi tidak melontarkan hasil ramalannya itu, apakah suksesi tetap terjadi dan kekuasaan Soeharto memang sudah ditakdirkan jatuh melalui proses reformasi? Allahu a’lam.
Baiklah, katakanlah kemampuan meramal Permadi di atas terbilang biasa. Sekarang, bagaimana dengan pertunjukan ilusionis Deddy Corbuzier yang merekam suaranya di dalam sekeping kaset kemudian kaset itu diamankan dan dijaga ketat oleh petugas pengaman di Tugu Monas. Lebih dari sepekan kemudian kaset itu dibuka dan dihidupkan dengan tape recorder. Dan, isi suara rekaman Deddy ternyata persis sama dengan materi headline di sebuah koran nasional, yang memberitakan pernyataan Megawati Soekarnoputri, waktu itu sebagai Presiden, yang disampaikan di Singapura.
Bila dibandingkan, “ramalan” a la Deddy tidak kalah pelik dan kompleks dengan ramalan Permadi. Pada Deddy karena menyangkut institusi sebuah industri media informasi. Tentu akan sangat sulit kalaupun seseorang bisa mendikte redaksi, lebih-lebih dalam menentukan deadline. Selain itu, lebih sulit lagi bila dikaitkan dengan eksistensi Mega sebagai Presiden. Dalam hubungannya dengan permainan ilusionis Deddy, tentu saja Deddy tidak bermaksud mendikte pikiran Megawati, bukan? Tidak juga mengintervensi kebijakan redaksi koran?
Sekarang bagaimana dengan upaya atau ikhtiar yang dilakukan untuk membatalkan sebuah materi ramalan agar tidak terwujud? Perihal upaya atau ikhtiar membatalkan terwujudnya ramalan juga banyak dilakukan orang. Sebagian yang bisa kita simak dari kisah-kisah para bangsawan di Yunani, misalnya Julius Caesar yang mengabaikan ramalan, bahwa kekuasaannya akan dijatuhkan pada pertengahan Maret, akhirnya benar-benar terjadi. Demikian juga ikhtiar yang dilakukan Raja Thebes, yang membuang bayi Oeidhipus lantaran orakel meramal si bayi kelak akan membunuh dirinya dan mengawini permaisurinya. Alih-alih untuk menghindari terwujudnya ramalan buruk dari orakel, ikhtiar pembuangan bayi Oeidhipus justru menjadi jalan terwujudnya ramalan orakel.
By the way, seseorang pernah menyampaikan semacam ramalan tentang saya. Anehnya, orang itu –kebetulan perempuan, menyampaikannya melalui istri saya. Padahal, di antara kami tidak saling mengenal. Kata istri saya, mereka bertemu kebetulan saja, sewaktu istri saya menunggui anak kami yang dirawat inap di sebuah rumah sakit. Si “peramal” itu mengatakan beberapa hal yang akan saya alami, sekitar lima tahun kemudian terhitung dari waktu itu. Antara lain berkaitan dengan karier saya. Sebagai penguat untuk menjelaskan kemampuannya, si “peramal” juga mengilustrasikan letak kantor dan arah pintu kantor saya serta beberapa hal terkait wilayah di Provinsi Jawa Tengah sebagai tempat saya pernah mendapatkan tugas dari kantor. Istri saya pun was-was mendengar ramalannya tadi sehingga ia berusaha keras melupakannya dan tidak menceritakannya kepada saya. Kami pun mengalami pasang surut kehidupan berumah tangga. Lima tahun kemudian, setelah saya berhenti bekerja di kantor formal, baru istri saya teringat pada ramalan itu dan mengatakannya kepada saya.
Mungkin masalahnya bukan sekadar percaya atau tidak percaya pada ramalan. Sebagian orang yang mengklaim dirinya sebagai rasionalis akan mengaku tidak percaya pada ramalan. Sebaliknya, orang yang kelihatan membenci sesuatu yang dinilai klenik, sebenarnya belum tentu juga tidak percaya pada ramalan. Masalahnya, orang yang diberi kelebihan bisa meramal tentu juga tidak memperolehnya dengan tiba-tiba, seperti mendapat durian yang terjatuh dari keranjang di jalan. Kemampuan tersebut tentu diperoleh melalui proses panjang yang dikenal dengan istilah laku. Celakanya, orang lebih banyak yang suka melalui jalan pintas. Mereka malas menggembleng fisik dan raganya melalui proses. Padahal, masa penggemblengan tersebut sebagai bagian dari pematangan jiwa.
Sekarang, seandainya kita mendengar seseorang menyampaikan sebuah ramalan, bagaimana sikap kita? Di luar masalah percaya atau tidak percaya, saya pikir kita lebih baik bersikap: padha guru aja ngganggu, padha referensi aja ngrusuhi (bila kebetulan memperoleh ilmu dari guru yang sama hendaklah jangan saling mengganggu, sementara kalau kebetulan ada kesamaan referensi, hendaklah jangan saling merecoki –RTS).
Sampai di sini, sekarang bagaimana dengan Anda? Percayakah Anda pada ramalan? (R. Toto Sugiharto)

Selasa, 23 November 2010

Writing Tresna jalaran saka Kulina

Judul di atas merupakan bentuk pelesetan dari pepatah bahasa Jawa: witing tresna jalaran saka kulina. Maksudnya, tumbuhnya rasa cinta adalah buah dari intensitas pengenalan kepribadian. Secara tersirat ungkapan itu menekankan betapa penting sebuah proses dan kesetiaan menjalani proses tersebut.
Menjadi penulis juga harus ditempuh melalui proses. Perjalanannya bisa mulus dan lancar bagai jalan tol. Bisa pula sebaliknya, penuh liku, tikungan, dan tanjakan berbatu berikut turunan licin. Menjalani proses juga membutuhkan kesetiaan dan kecintaan pada komitmen. Maka, makna dari pelesetan judul di atas bisa dipahami demikian: kepiawaian menulis niscaya dapat dicapai jika dijalani dengan intensif dan penuh cinta.
Esai ini tentu saja tidak dalam konteks promosi bahwa dengan menjadi penulis maka kekayaan material juga berlimpah ruah. Kekayaan material atau mungkin juga sebaliknya adalah implikasi dari sebuah proses. Dalam kasus ini banyak juga orang yang terjebak pada anggapan, bahwa menjadi penulis idealis akan menanggung kehidupan yang kering secara material. Sebaliknya, dengan menjadi penulis komersial akan tercapai masa depan yang lebih menjanjikan. Tidak selalu demikian alurnya. Sebab, kenyataan lebih sering serba tidak terduga.
Meskipun demikian, ada kenyataan yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap penulis, yakni kepiawaian hanya dapat diraih setelah melalui proses. Ibarat buah yang masak di tangkai sebatang pohon tentulah melalui proses penyerbukan dibantu angin, burung atau serangga, semasa masih sebagai bunga. Hanya saja, hitungan rentang waktu dalam proses tentu berbeda-beda pada setiap personal. Hal itu bergantung pada variasi pengalaman empiris pada masing-masing orang.
Satu hal yang perlu dipahami, sebagai sebuah proses, menulis adalah sebuah jalan atau laku. Ibaratnya seperti Takezo alias Musashi, seorang samurai dari tokoh novel Musashi karya Eiji Yoshikawa, yang setia hidup di jalan pedang tetapi ia tidak lupa senantiasa mengevaluasi diri melalui pena. Artinya, substansi dari hidup yang dijalani Musashi adalah jalan pedang dan menulis sebagai media pencerahan.
Sekarang kita mungkin sudah merasa lebih mantap menempuh hidup di jalan pena sebagai penulis. Sebagian di antara kita mungkin sudah melalui proses di jalan yang berliku dan sudah pula menuai hasilnya. Sebagian yang lain mungkin masih dalam proses yang belum selesai. Sementara sisanya menganggap kehidupannya sebagai penulis bagai Sisiphus yang dikutuk dewa menaikkan sebongkah batu ke puncak gunung dan batu itu turun kembali untuk digelindingkan ke puncak lagi.
Proses mengidentifikasi diri bagai Sisiphus atau ibarat tokoh mitologi lainnya boleh jadi karena terkait pada konteks pengalaman personal seorang penulis serta perspektif yang dimilikinya dalam menafsirkan eksistensi diri. Tetapi, hakikat dari eksistensi penulis tetaplah sebagai orang biasa. Tumbuhnya kesadaran tersebut juga melalui rentang waktu panjang. Dahulu kala dalam tradisi budaya tulis dengan media lontar, menulis adalah proses transendensi melibatkan campur tangan dewa. Di kemudian hari, seiring terjadinya perkembangan rasionalitas manusia, menulis adalah proses kreatif biasa. Kreativitas imajinasilah yang melambungkan seorang penulis hingga memiliki visi tertentu. Ana Blandiana dari Rumania misalnya, berhasil mengoptimalkan visi profetisnya melalui cerpen pendek (short short story) sepanjang sembilan paragraf yang mengisahkan seorang narapidana yang kabur dari penjara melalui lukisan jendela terbuka di dinding penjara. Lukisan dinding penjara yang digambar oleh si narapidana menjadi media pelatuk visi profetisnya. Tetapi, pencapaian tersebut tentu dilandasi kreativitas imajinasi. Adapun visi profetisnya sebagai penyair, Ana Blandiana hendak mengingatkan kepada rezim komunis yang berkuasa di negerinya saat itu, bahwa imajinasi tidak bisa dipenjara.
Visi profetis dapat dicapai secara optimal apabila seorang penulis berhasil menemukan signifikansi antara eksistensi dirinya dengan konteks zamannya. Karenanya, seandainya makna sebuah karya tidak perlu dicari-cari maka setidak-tidaknya masyarakat pembaca menemukan signifikansi antara hasil karya dengan situasi waktu penciptaannya. Dalam bahasa yang sederhana, Rendra, Si Burung Merak jauh hari telah mengingatkan, perlunya seorang kreator manjing ing sajroning kahanan, yang oleh Bakdi Soemanto diterjemahkan “selalu hadir dalam konteks”.
Dalam literatur klasik pada tradisi kapujanggan, sebagian besar pujangga istana di tanah Jawa juga memiliki kesadaran hadir dalam konteks yang membuahkan visi profetis. Salah satu pujangga yang keharuman namanya melegenda adalah Raden Ngabehi Ranggawarsita melalui serat-serat, prosa liris bermetrum dalam bahasa Jawa. Dari goresan tintanya di serat-serat-nya, Ranggawarsita mengilustrasikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, yang disebutnya zaman Kalabendu, suatu masa yang dipenuhi duka derita dan bencana. Terlepas apakah kenyataan yang terjadi di masa sekarang sebagai kebetulan ataukah memang buah dari kepiawaian sang pujangga membaca kemungkinan masa depan, saat ini sudah terjadi bencana demi bencana di berbagai wilayah tanah air.
Kita yang masih menjalani proses menempuh hidup di jalan pena, sekarang ini hanya bisa meneladani dari sejumlah tokoh di masa lalu dan para perintis yang melontarkan gagasan-gagasan pencerahan. Kita tinggal menghidup-hidupkan gagasan-gagasan tersebut atau bila perlu mengabstraksikannya sebagai “ideologi alternatif” dalam proses rewrite atau re-kreasi untuk membedakannya dengan proses reproduksi teks. Artinya, dalam proses rewrite lebih dijiwai semangat reaktualisasi dan rekonstruksi atau sebaliknya, dekonstruksi dengan perspektif baru. Sedangkan dalam proses reproduksi teks semata-mata hanya pencekokan atau indoktrinasi.
Kesadaran demikian mestilah senantiasa dibangkitkan sebagai penumbuhan etos kerja kreatif menjadi penulis. Sehingga, produk dari karya kita tidak semata-mata reproduksi teks seperti hasil kerja seorang tukang oplos. Sebab, menempuh hidup di jalan pena tidak dimaksudkan hendak membangun rezim penulis, melainkan memperkaya ruas jalan pencerahan.
Kesetiaan menjalani proses mencerminkan sebuah keutamaan dalam merawat intensitas dan menjaga komitmen. Untuk mempertahankan kesadaran tersebut membutuhkan perjuangan keras karena dari waktu ke waktu setiap pribadi dihadapkan godaan yang akan membelokkan visi hingga seorang penulis tergelincir pada proses kejatuhan eksistensial. Salah satu upaya memerjuangkan komitmen adalah dengan sikap independen. Komitmen akan tetap terjaga apabila penulis tidak menjadi oportunis. Dalam hal ini kita mungkin patut meneladani novelis Inggris, George Orwell. Karena, hanya dari sikap independen, penulis tidak hanya merepresentasikan situasi zamannya, melainkan mengingatkan pembaca melalui ketajaman visi profetisnya. Melalui novel futuristiknya, 1984, Orwell mengetuk hati dan otak pembaca tentang kemungkinan sejarah masa depan yang melahirkan rezim totalitarian. Irving Howe, dalam  Politics and The Novel (1967) melukiskan, dalam novel 1984 Orwell memproyeksikan sebuah mimpi buruk dalam kehidupan politik yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan negara yang melemahkan rakyat. Irving Howe mengasumsikan novel 1984 adalah buku antipolitik yang sangat mendalam, penuh kebencian terhadap kekuasaan yang menghancurkan kehidupan pribadi.
Negeri totaliter yang dilukiskan Orwell adalah negeri yang dikendalikan sistem sosialisme. Tetapi, sebelum kematian menjemputnya, Orwell menegaskan, bukunya tidak dimaksudkan menyerang sosialisme atau Partai Buruh di Inggris yang berkuasa saat itu. Orwell mencoba menghadirkan kemungkinan dunia yang dikuasai individu dengan sense of humanity-nya yang usang dan berkepribadian jahat.
Orientasi Orwell tentu untuk melukiskan kemungkinan sejarah masa depan sebagai mimpi buruk manusia. Novel 1984 mengisahkan negeri Oceania yang ditulis Orwell pada 1948 dan terbit setahun kemudian. Ada sebuah negeri diapresiasi Orwell dalam novel tersebut, yaitu etnis Jawa dan kepulauan Indonesia. Kekuatan sosialisme saat itu memang nyaris mendunia. Tetapi, yang akhirnya menguasai sistem politik di negeri kita justru kapitalisme.
Sebelum mengakhiri esai ini, saya ingin menjelaskan, motif penulisan esai ini tidak muluk-muluk. Saya hanya hendak mengajak pembaca mengenali dunia kreatif, dunia tempat hunian penulis. Sementara bagi penulis, tulisan ini diharapkan dapat mengukuhkan keyakinan dan komitmen menjaga intensitas dalam proses kreatif dengan penuh kecintaan. (R. Toto Sugiharto)