mangkya darajating praja - kawuryan wus sonya ruri - rurah pangrehing ngukara - karana tanpa palupi - ponang parameng kawi - kawileting tyas maladkung - kungas kasudranira - tidem tandaning dumadi - ardayeng rat dening karoban rubeda - R Ng Ranggawarsita - adapun martabat negara - kini terlihat sunyi senyap - aturan dan bahasa kacau - sedangkan para penyair - dibenam sesapan duka cinta - habis sudah keberanian mereka - padam sudah tanda-tanda kehidupan - dunia terasa disesaki petaka

Jumat, 31 Desember 2010

Sehari dalam Hidup Mas Kanjeng

oleh: R Toto Sugiharto
(sudah dimuat di “Mata Baca” Volume 3 No 1 September 2004)

IA sudah terbiasa tidur beralas tikar di teras kediamannya di Jalan Nagan Lor 21 Yogyakarta. Ia akan menemani tamu-tamunya yang menghabiskan malam sampai di ujung fajar. Sesekali ia keluar mencarikan makan malam untuk kucingnya, Si Thole dari warung angkringan, tak jauh dari kediamannya. Sekitar pukul 03.00 ia bersiap-siap mengenakan jas, topi, atau kadang-kadang kopiah. Kemudian ia mengayuh sepedanya ke kantor redaksi harian Bernas di Jalan IKIP PGRI Sonosewu, Kasihan, Bantul, sekitar tiga kilometer dari kediamannya.

Beberapa naskah biasanya diselesaikannya hingga pukul 10.00. Selepas itu ia memiliki waktu luang. Maka, ia akan kembali ke kediamannya di Nagan Lor, ngobrol tentang apa saja bersama tetangga atau siapa pun yang datang dan menanyakan sesuatu. Dalam situasi santai, ia biasa bertelanjang dada dengan udeng di kepala.

Ya, Suryanto Sastroatmodjo, namanya. Bertanyalah perihal apa saja. Terutama tentang kebudayaan Jawa atau seputar kehidupan para pangeran dan sejarah raja-raja atau situs-situs di Pulau Jawa. Mungkin juga seputar prosedur laku dan mengapa seseorang harus menjalani laku tertentu. Maka, meluncurlah serangkaian penjelasan dari Suryanto Sastroatmodjo.

Senja. Rabu Wage, 21 Juli 2004. Seperti biasa, jika ada waktu luang saya mampir ke kediamannya. Ia menyambut saya dengan senyum khas dan lambaian tangannya. Ia pasti sedang santai karena bertelanjang dada dan mengenakan udeng.

Saya berbasa-basi memberi kabar baik.

Ia kemudian mulai bercerita: sebuah tim reportase dari sebuah televisi swasta baru saja mewawancarainya. Topiknya pengaruh Islam sufi, sunni, dan syiah dalam karya sastra Jawa. Ia memulai dengan cerita fabel tentang pelanduk atau kancil. Cerita fabel itu awalnya pada abad ke-15 disusun Sunan Giri dengan judul Falando Jinanataka dalam bahasa Melayu. Fabel dimaksudkan sebagai simbol intelektualitas dalam spirit pencapaian religiusitas manusia.

“Jadi, kalau memakai tokoh binatang, kan netral. Sunan Giri sudah mengambil kisah dari Persia. Waktu itu abad ke-15. Sebab, Sunan Giri yang juga menggunakan nama Raden Paku itu ada darah Timur Tengah juga. Pelanduk itu, kan bahasa Melayu dari asalnya, Persia, falando. Sebenarnya itu juga menceritakan perjalanan spiritual Sunan Giri,” katanya.

Fabel serupa kemudian memengaruhi karya sastra Jawa sebagai hasil dialog budaya. Namun, di belakang hari, cerita binatang tentang kancil atau pelanduk mengalami perubahan. Pelanduk berubah sebagai tokoh binatang yang banyak akal dan tipu daya. Fenomena itu terjadi di saat bentuk sastra lisan merajai dan digencarkan oleh tukang cerita atau juru dongeng jalanan.

Dua Nama di Jalan Pena
Nama lengkapnya Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryanto Sastroatmodjo. Sebagian orang, khususnya kerabat dekat dan tetangganya, memanggilnya Romo Suryanto. Sebagian koleganya memanggilnya Mas Kanjeng. Nama Suryanto Sastro dipakainya dalam kapasitasnya sebagai narasumber acara mistik di sebuah televisi swasta. Ia juga menyandang nama KRT Surya Puspa Hadinegara, sebuah nama pemberian mendiang Sunan Pakubuwana XII.

Ya. Mas Kanjeng yang dilahirkan 22 Februari 1957 di Bojonegoro, sebelumnya bernama RPA (Raden Panji Anom) Suryanto Sastroatmodjo. Ayahnya, Kanjeng Raden Adipati Aryo Sutejo Suryo Hadinegoro, pernah menjabat bupati di Bojonegoro.

Mas Kanjeng adalah anak ketujuh dari 12 bersaudara dari ibu, Raden Ayu Sri Haluwiyah Wuryaningrum. Keenam saudara kandungnya menggeluti ilmu eksakta dan meraih gelar insinyur dan dokter. Hanya ia seorang yang concern menempuh hidup di jalan pena, sebagai jurnalis dan budayawan.

“Ibu sebenarnya mengarahkan saya menjadi birokrat. Beliau menyekolahkan saya di Semarang (ia menyebut sebuah nama perguruan tinggi administrasi pemerintahan dalam negeri – RTS). Tapi, saya lebih tertarik kuliah di Yogya (Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada – RTS). Eyang saya, Panembahan Adipati Puger juga yang memengaruhi saya tertarik dengan budaya Jawa. Eyang suka membacakan Serat Centhini dan banyak melatih saya menulis geguritan (puisi berbahasa Jawa – RTS) dan membacakan serat,” tutur Mas Kanjeng.

Satu nama lagi yang juga banyak memengaruhi jalan hidup Mas Kanjeng : Raden Mas Djokomono Tirto Adhisoerjo. Djokomono bukanlah nama asing dalam dunia pers. Tokoh pers nasional pendiri koran Medan Prijaji (1896-1927), yang mengilhami Pramoedya Ananta Toer menulis tetralogi: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Boleh jadi, dalam hal profesi Mas Kanjeng sebagai jurnalis, ia juga terinspirasi dari Djokomono Tirto Adhisoerjo. Artinya, jalan pena yang ditempuhnya hingga saat ini merupakan paduan dari kakak beradik Djokomono Tirto Adhisoerjo dan Panembahan Adipati Puger. Sambil menyelesaikan kuliahnya, pada 1980-an ia mengawali sebagai freelance dan menjadi reporter di Mercusuar, Pelopor Yogya, dan Suluh Indonesia (cikal bakal Berita Nasional – RTS).

“Saya pernah memberi masukan ke Pramoedya. Minke (protagonis di tetralogi – RTS) itu kan, Djokomono. Ya, soal cerita dia tentang kehidupan Nyai Ontosoroh dan Minke yang sangat romantis itu. Mungkin memang dibutuhkan dramatisasi seperti itu (dalam tetralogi – RTS). Saya pernah menyurati Pram. Kemudian Pram menulis buku lagi, Sang Pemula. Masih tentang Djokomono,” katanya.

Suryanto tentu saja sudah banyak menulis. Di luar kesibukannya sebagai jurnalis di harian Bernas, ia menyempatkan menulis geguritan atau artikel berbahasa Jawa untuk media mingguan bahasa Jawa Djaka Lodang (Yogyakarta) dan Jaya Baya (Surabaya). Ia juga terbuka menerima kolega atau siapa saja yang berkeinginan menanyakan sesuatu hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa.

Karya-karya Suryanto juga telah didokumentasikan dalam bentuk microfilm oleh Koninlijk Instituut voor de Taal, Land en Volkenkunde (KITLV). Beberapa judul yang dapat disebutkan adalah “Sang Bocah”, “Sayap-Sayap Merpati”, “Balada Lintang”, dan “Pada Sebuah Musim” (sepeninggal Mas Kanjeng, manuskrip ini kemudian dibukukan dengan judul Bung Sultan, Bunga Rampai Esai tentang Lelaku Priyayi Jawa – Adi Wacana, 2007 – kebetulan saya sebagai penyuntingnya). Suryanto juga membintangi film cerita pendek berlatar budaya Jawa, Kliwon, My Brother karya Luki dan mendapatkan penghargaan Festival Film Pendek Dunia di Nagoya, Jepang. Film yang sama diajukan ke Festival Film Cannes di Prancis dan meraih hadiah untuk penyutradaraan dan casting.

“Itu ceritanya mengharukan sekali. Kucingnya, Si Kliwon bisa benar-benar menjadi aktor. Kalau nama aslinya Pungki. Manut (menurut – RTS) diatur. Kalau azan maghrib, ia tepekur,” tuturnya.

Upaya melestarikan seni budaya Jawa tetap dilakukannya. Antara lain bersama Koordinator Jurnalis Peduli Budaya Yogyakarta Drs Yoyok Hadi Wahyono, SE menggelar forum macapat (sajak bermetrum yang dinyanyikan – RTS) rutin sebulan sekali di Hotel Natour Garuda, Jalan Malioboro Yogyakarta. Hingga saat ini forum Pasamuan Dharma Sri Winahya itu sudah memasuki tahun kesembilan.

Macapat, kata Mas Kanjeng yang masih bertahan hidup membujang itu, memiliki daya sugesti apabila dikemas dalam bentuk mantra untuk hal-hal terkait dan sesuai konteksnya. Selain itu, sastra berbasis bahasa ibu, bahasa Jawa, tetap eksis dan dipertahankan kreator lokal. Artinya, masih ada prestise sastra Jawa sebagai kenyataan sosial dan harus diperjuangkan secara struktural agar menjadi kekuatan sinergis bersama sastra Indonesia. Diperlukan pula revitalisasi untuk memerkuat budaya Nusantara yang dihidupkan oleh media massa cetak berbahasa Jawa.

Tak terasa. Waktu sudah mencapai pukul 01.30 dini hari. Mas Kanjeng masih melayani kami berenam yang datang bergantian, ngobrol masalah apa saja.
Seorang tetangga mengantarkan enam bungkus nasi goreng untuk kami. Katanya, sebagai syukuran nomor togelnya nembus.

“Sik metu pira ta? (yang keluar berapa sih – RTS), Pak Bas?” sahut Mas Kanjeng tiba-tiba.

“Enem-sekawan-enem-tiga, Romo,” jawab Pak Bas.

“Wah, aku ra nembus (aku tak dapat – RTS),” ujar Mas Kanjeng.

Kami pun tertawa.

“Suka pasang nomor juga ya?” tanya seorang kawan.

Mas Kanjeng terkekeh.

Lalu, adakah hal unik lainnya yang masih melekat dalam diri Mas Kanjeng? Sebab, banyak orang bertanya kepada saya tentang Mas Kanjeng. Mereka pasti menyangka saya tergolong sobat dekatnya. Tapi, saya merasa Mas Kanjeng biasa-biasa saja. Kadang-kadang saya mengidentifikasikan Mas Kanjeng sebagai samin, seperti yang pernah ditulisnya, Masyarakat Samin, Siapakah Mereka? (Narasi 2003).

Mas Kanjeng sendiri menolak disebut sebagai samin. Sebab, ia tidak menolak teknologi. Saya tidak tahu pasti. Tapi, mungkin ini: sedikitnya, sudah dua kali saya memboncengkan Mas Kanjeng dalam keadaan sengaja berbasah kuyup.
Waktu itu langit berawan hitam menggantung di angkasa. Di tengah jalan tiba-tiba turun hujan sangat lebat. Saya menepikan sepeda motor dan mengenakan jas hujan. Tapi, ternyata Mas Kanjeng menolak melindungi badannya dari curah hujan. Ia membiarkan tubuhnya basah kuyup hingga menggigil kedinginan. Karena jarak tempuh kami masih jauh, saya pun memilih berteduh. Untuk beberapa saat, setelah hujan mereda kami melanjutkan perjalanan lagi. Saya tidak tahu adakah itu unsur-unsur samin yang melekat dalam dirinya. Saya belum sempat menanyakannya. Mungkin pada kesempatan lain saya akan menanyakannya....

“Angon Wayah” untuk Buku dan Pers
BUKU itu segalanya bagi saya. Artinya, saya harus selalu didampingi buku. Rasanya tak mungkin hidup tanpa buku. Buku apa saja. Komik juga. Dulu ibu saya selalu ngasih hadiah buku, tuturnya.

Ia pun mengilustrasikan masa lalunya. Dulu, waktu tinggal di Asrama Mahasiswa UGM Darma Putera, setiap mandi harus antre. Jadi, harus menunggu lama. Karenanya, untuk menghabiskan waktu menunggu, ia nongkrong sambil membaca buku.

Menghabiskan waktu dengan membaca buku akan lebih berguna. Maka, ke mana pun ia pergi, sedikitnya sebuah judul buku selalu ada di tangannya. Koleksi buku Mas Kanjeng kini mencapai 10.000-an judul. Sebagian besar diperoleh dari hibah sebagai warisan dari Bupati Tuban R Widagdo. Sebagian lainnya disimpan di Karanganyar, eks-Karesidenan Surakarta yang hampir memenuhi isi kamar. Topiknya apa saja, dari ekonomi, sosial, budaya, politik ataupun antropologi. Juga, buku-buku kerohanian dan masalah spiritualitas. Di antara jumlah yang lumayan banyak itu, buku-buku Mas Kanjeng sebagian disimpan di kantor Javanologi Panunggalan, Kompleks Sidobali, Yogyakarta.

Mas Kanjeng juga pernah dianugerahi buku sebanyak dua colt pick up pada 1979 dari Romo Windi Atmoko, SJ dan Dick Hartoko. Mereka merasa terkesan setelah mendapatkan pelayanan Mas Kanjeng yang berperan sebagai guide dalam perjalanan mereka ke Blambangan dan Madura.

Salah satu judul buku yang berkesan di hatinya adalah Pre-Emperor to Citizen. Buku karya Emerald Chang, seorang aktivis Partai Komunis Cina itu mengisahkan riwayat hidup Pu Yi, Kaisar terakhir yang mengilhami pembuatan film The Last Emperor (1987).

Buku dan Mas Kanjeng memang ibarat ikan dengan airnya. Maka, apabila malam hari, setelah terbebas dari rutinitas harian sebagai jurnalis, Mas Kanjeng selalu menyempatkan membuka-buka buku. Termasuk sebuah buku tebal, Di Bawah Bendera Revolusi karya Bung Karno selalu menemaninya, sampai ia terkantuk-kantuk. Sesekali, Mas Kanjeng menggunakan buku tebal itu sebagai bantal.
Sebagai jurnalis, Mas Kanjeng sebenarnya juga merindukan pers yang mampu memainkan peran optimal untuk kontrol sosial. Khususnya optimalisasi pers dalam memainkan perannya untuk mewujudkan budaya keterbukaan. Sebaliknya, di sisi lain pers ternyata juga dituntut untuk mampu angon wayah (beradaptasi dengan situasi – RTS). Semisal ada kehendak untuk membongkar korupsi, tapi ternyata kasus itu potensial untuk mengeliminasi terjadinya kejahatan yang lebih besar lagi dengan melibatkan massa lebih banyak.

Ia mencontohkan pengalaman Djokomono Tirto Adhisoerjo yang pernah menulis laporan tentang korupsi yang dilakukan seorang demang di Lampung. Demang itu menyalahgunakan kekuasaan, yakni memungut biaya di luar pajak terhadap masuknya barang kebutuhan rakyat di pelabuhan. Sementara penyelundupan candu tidak digubris. Ternyata tingkah laku demang sengaja dibiarkan Walinegeri setempat. Sebab, jika modus penyelundupan candu dibongkar maka akan melibatkan banyak orang yang kehidupannya bergantung pada praktik tersebut yang juga dikehendaki residen.

“Pers memang untuk mengawali keterbukaan. Tapi, istilahnya mesti angon wayah, melihat suasana atau situasi lebih dahulu, bagaimana kadar kewajaran menghendaki. Salah satunya dengan kritik yang konstruktif, yang disampaikan dengan halus supaya yang bersangkutan menghentikan kejahatannya,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar