mangkya darajating praja - kawuryan wus sonya ruri - rurah pangrehing ngukara - karana tanpa palupi - ponang parameng kawi - kawileting tyas maladkung - kungas kasudranira - tidem tandaning dumadi - ardayeng rat dening karoban rubeda - R Ng Ranggawarsita - adapun martabat negara - kini terlihat sunyi senyap - aturan dan bahasa kacau - sedangkan para penyair - dibenam sesapan duka cinta - habis sudah keberanian mereka - padam sudah tanda-tanda kehidupan - dunia terasa disesaki petaka

Rabu, 01 Desember 2010

Keabadian Wayang Ukur Sang Maestro

oleh R. Toto Sugiharto
(Sudah dipublikasikan di Majalah Dalang Ngumandang – Vol. 1 April 2010)

SIGIT Sukasman dan wayang ukur adalah loro loroning atunggal. Dua tetapi satu. Dua dalam satu. Dua anasir dalam satu eksistensi. Nama Sukasman identik dengan wayang ukur. Keberadaan wayang ukur pun tidak dapat lepas dari kreatornya: Sigit Sukasman.
Tak perlu ragu lagi. Sigit Sukasman memang Maestro. Eksistensinya berada di area alternatif, antara wayang klasik yang taat pakem dan wayang ukur yang penuh energi kreatif berikut kemungkinan-kemungkinan eksplorasi pada wilayah penyajiannya. Sehingga, tidak mengherankan bila banyak orang yang mencemooh. Tetapi, kelak tentu banyak pula yang mengaguminya.
Perihal buah kreativitasnya itu bisa disaksikan di kediamannya, Mergangsan II/1308 Yogyakarta. Di sana ada patung jaran sembrani (kuda terbang) berukuran besar setinggi tiga meter dan beberapa patung berukuran biasa. Semua dari bahan fiberglass. Dan, tentu saja wayang ukur. Sama seperti lazimnya wayang kulit, keunikan wayang ukur ada pada detail anatomi masing-masing tokoh wayang. Ada unsur yang lebih ditonjolkan. Sehingga, wayang kulit hasil kreasi Sukasman lebih dari sekadar dekoratif. Bentuk anatominya yang detail dan menonjol itu mencerminkan karakter masing-masing tokoh wayang secara lebih otentik.
Sebenarnya tidak sulit memahami makna wayang ukur karya Sukasman. Seperti kalau penciptanya menjelaskan kepada setiap penanya. Wayang ukur adalah karya wayang kulit yang merupakan proses mencari ukuran baru dari ukuran yang sudah ada. Itulah wayang ukur, seperti pernah dijelaskan Sukasman kepada wartawan.
Pengurus Sekretariat Nasional Wayang Indonesia, Sulebar M Soekarman menggarisbawahi Sukasman sebagai seniman Jawa yang sangat njawani. Dengan telaten metani (memilah) yang nampak dan tak nampak untuk merajut keagungan kebudayaan Nusantara. Almarhum adalah seniman modern yang kental dengan akar tradisi, pembaharu seni wayang dalam rupa visi, dan filsafati. Sebagai pribadi yang yakin dan konsisten akan panggilan hati nuraninya dalam olah seni, rasa, dan pikir.
“Sukasman itu pribadi luar biasa. Wayang ukur adalah pencapaian dia dalam olah seni rupa, seni pedalangan, dan aspek rasio dalam kebudayaan. Dulu kami sering berdiskusi. Kalau ada ide dan baru mood, dia bisa ngomong berapa pun lamanya," ucap Sulebar.
*
Seorang rekan wartawan pernah mengeluh tidak bisa mengakses Pak Kasman. Karenanya, ia heran demi melihat saya bisa wawancara dengan beliau. Padahal, ia sudah berulang kali minta waktunya untuk mewawancarai Pak Kasman. Saya beruntung dibanding kawan saya itu. Tapi, tahukah dia, mengapa saya bisa dengan mudah diterima Pak Kasman? Ya, tentu dia tidak tahu kalau jauh hari sebelumnya saya memang sudah sering datang ke rumah Pak Kasman. Bila ada waktu luang, saya menyempatkan mampir di rumahnya. Sekadar ngobrol. Baru akhirnya setelah agak akrab, beliau tidak bisa menolak tatkala saya meminta waktunya untuk wawancara.
Seingat saya, waktu itu Pak Kasman tengah mempersiapkan pergelaran wayang ukur – karya masterpiece beliau – di kediamannya. Lakonnya Bambang Ekalaya. Saya mengorek latar belakang pemilihan lakon dan juga konsep beliau tentang wayang ukur. Tapi, saya hanya mendapatkan materi soal latar belakang pementasan lakon. Tentang wayang ukur, kata Pak Kasman, kelak di lain waktu saja. Dan, waktu itu ketika saya jadi menonton Bambang Ekalaya, saya pun hanya bisa mencoba-coba menafsir-nafsir. Mungkin yang dimaksud wayang ukur lebih kepada tata artistik antara pementasan wayang ukur (wayang kulit khas konsep Pak Kasman) yang dipadukan dengan tarian Arjuna dan Srikandi yang diperankan manusia sebagai wayang orang. Maaf, saya lupa nama penari yang memerankan Arjuna dan Srikandi. Juga, dalang dan tiga narator. Satu yang saya ingat, Bambang Paningron. Kurang lebih seperti pemanggungan multidimensi: dari Arjuna dan Srikandi sebagai wayang kulit menjelma dua sejoli sosok manusia dalam dunia wayang orang.
Juga, ini: karakter tokoh wayang yang dinarasikan oleh empat aktor dan salah seorang berperan sebagai dalang. Begitulah tafsiran saya mengenai wayang ukur Pak Kasman. Lalu, di sela-sela pementasan itu, ternyata para pesindennya bisa leluasa mengiringi dalang dengan tembang-tembangnya diselingi saling berbalas SMS melalui ponsel masing-masing. Ya, tentu untuk yang terakhir bukan bagian dari konsep estetika wayang ukur Pak Kasman.
Tapi, sebenarnya memang sulit untuk bisa mengorek informasi – tentu saja informasi yang otentik dari pikiran beliau dan akurat. Dalam hal demikian, Pak Kasman seperti tertutup. Ia berani ngomong blak-blakan tapi kemudian sering berubah-ubah pendirian. Satu hal itu memang bisa menyulitkan wartawan.
Sebagian dari pikiran Pak Kasman, bila diformulasikan dalam abstraksi, saya pikir tentang wayang dan peranannya dalam peristiwa atau pengembangan kebudayaan dan kemanusiaan.
Suatu kali, Pak Kasman memberi kesempatan kepada saya untuk merekam pikirannya. Wawancara tersebut – atau tepatnya obrolan kami itu – sekitar Februari – Maret 2007 dan saya simpan di file. Sebenarnya waktu itu saya ada rencana mengorek pokok-pokok pikiran Pak Kasman dan bila memungkinkan membukukannya. Tapi, kemudian saya ada pekerjaan riset di Jawa Timur. Uniknya, tiga tahun kemudian, ketika saya membuka file Pak Kasman dan menulis obituari ini, saya juga sedang mengikuti undangan workshop dan riset di Jawa Timur.
Seusai riset pada 2007, sepulang dari Jatim, saya kembali menyambangi Pak Kasman di kediaman beliau, Kampung Mergangsan, Yogyakarta. Tetapi, lazimnya seniman seunik Pak Kasman, alih-alih menanggapi keinginan saya untuk melanjutkan wawancara, beliau malah menyodorkan berkas klipingan tulisan budayawan dan ngobrol-ngobrol ringan. Tetapi sebenarnya, di saat pembicaraan disampaikan secara lebih rileks itu justru terlontar percikan-percikan pikiran otentik beliau.
Saya pikir, memang dibutuhkan proses untuk bisa menangkap letikan-letikan pikiran Pak Kasman yang dahsyat dan otentik. Itu artinya, membutuhkan waktu relatif panjang dan energi berlebih. Sayang, saya tidak bisa telaten menyambangi beliau lantaran saya juga berkejaran dengan waktu dan kesibukan sebagai pekerja serabutan. Sampai akhirnya berita duka itu datang. Sang Maha Kuasa memanggil hamba-Nya, Sigit Sukasman, Kamis, 29 Oktober 2009. Pak Kasman menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 73 tahun di RS Panti Rapih Yogyakarta, setelah menjalani rawat inap akibat komplikasi gangguan jantung dan paru-paru.
Adapun mengenai materi wawancara itu, kurang lebih demikian yang bisa saya transkrip:
“Wayang untuk antisipasi secara tak langsung karena semua agama ingin menang politik. Jawa bukan politik, melainkan kreativitas. Itu yang diutamakan. Jangan ikut kritik pemerintahan. Tak perlu jauh-jauh...”
Maksudnya – tentu saja bagian ini sudah interpretasi saya – keberadaan wayang dan peranannya adalah dapat mengantisipasi hal-hal yang sama-sama memiliki kekuatan. Wayang berada di wilayah independen. Tapi, ia bisa menjadi kekuatan untuk posisi tawar, baik dalam kancah politik maupun sosial kemanusiaan umumnya. Sehingga, bagi pekerja budaya dalam konteks pelestarian wayang, seperti dalang, sinden, pengrawit, dan pihak terkait tidak perlu mematok target terlalu jauh dari konteks seni dan budaya.
Kemudian, ada lagi isi pikiran beliau, seperti ini:
“Ada yang menulis itu, Ki Juru Bangunjiwa – jurnalis dan esais spesial tema-tema Jawa dan kearifan lokal – ramalan itu yang membuat orang yang butuh gesang sae (hidup lebih baik). Dunia sudah tak bisa dilihat, kalau bisa tahu yang akan datang. Kalabendu itu sejak Jayabaya sudah ada.”
Bagian ini menurut saya sangat menep (matang dan mendalam) dan inspiratif. Mungkin kita belum menyadari, bahwa ada benarnya pikiran Pak Kasman. Ramalan itu dibutuhkan bagi orang-orang yang menginginkan hidupnya lebih baik. Tentu kalau kita memahami lebih mendalam, ada ironi misalnya, ketika kita mencermati si peramal sendiri yang memiliki kemampuan membaca kemungkinan masa depan kehidupan kliennya alias orang lain, sementara si peramal sendiri kehidupannya ya tetap begitu-begitu saja. Juga, andaikata kita sudah mengetahui kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang, maka misteri hidup di dunia tidak bisa lagi dinikmati. Hidup jadi tanpa suspence, tiada ketegangan.
Lalu, kata Pak Kasman, “sekarang zamannya kudu malah campur (harus membaur). Bukan hanya dengan agama, dengan budaya. Dihadang? Jalan terus. Seperti Janaka, kawin terus... (tentu saja bagian terakhir ini hanya guyonan – RTS).”
Maksudnya, masa sekarang ini – yang secara kebetulan memang sudah memasuki era informasi global – semua anasir menempati media sama yang digerakkan oleh teknologi jaringan internasional. Semua anasir budaya dan ideologi bertemu di media yang sama yang disediakan dari produk teknologi informasi global: dunia maya.
Sekarang yang bisa dilihat, bahwa semua serba relatif. Kalau dahulu, menurut Pak Kasman, antara kaum imperialis yang pandai dengan pribumi yang bodoh bisa terlihat mencolok – tentu bila digunakan ukuran modernisme Eropa – maka beliau menyatakan, “Belanda melihat orang Indonesia bodoh, maka berjodoh bila bertemu dengan Belanda yang pandai. Karena, Belanda akhirnya bisa menjajah, memeras. Bangsa Indonesia harus belajar dari kepandaian Belanda karena berjodoh. Orang bodoh jodohnya belajar kepada yang pintar. Dengan orang Cina kita juga bisa belajar soal mengelola uang. Saat ini zamannya semua harus mampu membaur.”
Begitu antara lain pikiran Pak Kasman. Dan, ada satu lagi yang mungkin bisa dijadikan bahan renungan kita. Begini:
“Orang yang terkuat di dunia adalah dia yang hidupnya menderita. Nek dipala saya kuat (bila dianiaya semakin kuat –RTS). Kemanusiaannya nambah siji (bertambah satu –RTS). Bukan penuh dendam.”
Saya pikir, ungkapan beliau ini sangat religius. Bukankah dalam ajaran agama juga diserukan, orang-orang yang teraniaya justru yang doanya didengarkan oleh-Nya? Itulah, menurut saya letak kekuatan orang yang hidupnya menderita. Semakin mereka dianiaya, maka posisi mereka pun semakin kuat.
Lalu, saya ingat ungkapan-ungkapan yang pernah dilontarkan Pak Kasman di awal-awal pertemuan kami. Kata beliau, “aku iki digencet. Digencet (ditekan –RTS).” Maksudnya, Pak Kasman pernah mengalami masa hidup sulit lantaran mendapat tekanan secara politis. Sampai akhirnya saya menyalaminya ketika beliau menerima penghargaan dari Gubernur Provinsi DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai budayawan berprestasi dan berjasa kepada negara dan bangsa. Kemudian, sahabat beliau, Yoyok Hadi Wahyono berseloroh, “Piye saiki? Wus gak digencet, ta?(Bagaimana sekarang? Sudah tidak ditekan, kan? –RTS)....”
Pak Kasman tersenyum.
Selamat jalan, Sang Maestro. Kelak, wayang ukur itu semakin eksis demi mengabadikan namamu. Wayang ukur itu menjadi saksi betapa harum nama Sigit Sukasman di jagad pakeliran.
Surem-surem diwangkara kingkin lir manguswa kang layon….

====================================================================

Sigit Sukasman dan Jejak Wayang Ukur

SIGIT SUKASMAN (Yogyakarta, 10 April 1937 – 29 Oktober 2009 – Seniman – Alumnus ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) 1962 – Peserta World Fair di New York 1964 – Merantau di Belanda (1964 – 1974) – Buah karya berupa wayang ukur sebanyak 400-an buah – Penghargaan Gubernur Provinsi DY, Sri Sultan HB X 2004 – Penghargaan Gudang Garam Life Time Achievement (RTS/dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar