mangkya darajating praja - kawuryan wus sonya ruri - rurah pangrehing ngukara - karana tanpa palupi - ponang parameng kawi - kawileting tyas maladkung - kungas kasudranira - tidem tandaning dumadi - ardayeng rat dening karoban rubeda - R Ng Ranggawarsita - adapun martabat negara - kini terlihat sunyi senyap - aturan dan bahasa kacau - sedangkan para penyair - dibenam sesapan duka cinta - habis sudah keberanian mereka - padam sudah tanda-tanda kehidupan - dunia terasa disesaki petaka

Selasa, 30 November 2010

Kabinet Kantong Bolong

oleh R Toto Sugiharto
WARUNG Mas Swanten memang hanya sepetak. Itu pun hanya menumpang di tembok bagian rumah tua kosong tak berpenghuni. Menu utamanya juga hanya sop. Cuma sayur sop. Sayur yang dibuat dari kobis, wortel, tomat, bawang putih, sedikit garam, dan bumbu untuk sop serta sambel ditabur daun kemangi, bawang merah goreng. Lauknya cukup tempe goreng. Bisa juga kerupuk. Minumnya teh nasgithel: panas, legi (manis) dan kenthel (kental). Tapi, meski hanya sepetak, pelanggan Mas Swanten banyak. Dari juru parkir sampai pejabat elit berdasi – maksudnya salesman berdasi.
Kalau di luar mereka berkompetisi, tapi begitu sudah di warung Mas Swanten, semua pada akur bagai sesama sedulur, damai seperti dengan kerabat. Andaipun berdebat, itu sebatas untuk berdemokrasi. Yang jelas, suara yang terdengar di warung Mas Swanten benar-benar suara murni. Tidak direkayasa. Tidak pula dimanipulasi. Tidak berlaku off the record. Kalau mau membuktikan kebenarannya, ya mangga, dikros-cek sendiri.
Naah, ini cerita tatkala mereka, para pelanggan itu, mampir minum dan sarapan sop di warung Mas Swanten.
Hari masih pagi. Toko-toko juga baru disapu halaman teras dan parkirannya. Rolling door-nya juga baru didorong para pelayannya, perempuan-perempuan muda yang bertubuh mungil-mungil dengan rambut rebounding-an. Ada juga yang berjilbab.
Sop baru saja matang. Masih panas dan kemepul uapnya. Tempe goreng juga sudah terhidang di meja. Nasi di bakul juga sudah menanti sedari warung buka. Dan, ini lagi, ooh, harumnya bawang goreng...!
Mas Swanten melayani pelanggan dengan ramah. Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Tanda sebuah pesan pendek masuk.
“Wah, ada SMS masuk. Dari siapa ya...?” celetuk Mbak Mitayani menggoda.
Mas Swanten mesam-mesem, “Siapa ta, Mbak... Sebentar...,” ia lalu membuka dan membacanya dalam hati.
“Dari siapa, Mas? Rahasia ya?” goda Mbak Mitayani.
“Nggak tahu aku. Nggak kenal. Isinya juga...,” tukas Mas Swanten ragu untuk melanjutkan.
“Memang kenapa? Teror ya?”
“Oke, kalau kalian mau tahu. Kubacakan ya...?”
Semua menyimak. Sorot masing-masing mata tertuju pada Mas Swanten.
“Sultan nantang pusat untuk referendum tentang DIY? Sekalian aja merdeka biar tambah ramai. Gitu. Sudah,” ucap Swanten datar.
“Woo. Soal itu lagi?” celetuk Santri Ali.
“Memang kenapa sih? Mulai hangat lagi ya?” timpal Pakde Sastro Becak.
“Sultan itu kan menanggapi pidatonya SBY. Kata SBY tak ada sistem monarkhi dalam republik. Semua harus sama,” Santri Ali menimpali.
Mendadak ponsel Mas Swanten berbunyi lagi, tanda pesan baru masuk.
“Apa lagi ini...?” Mas Swanten membuka kotak masuk. Dari nomor yang sama. Isi pesannya juga sama. Tapi, kali kedua itu diberi identitas: Aris.
“Sama dengan yang tadi. Ooh, namanya Aris. Siapa ya? Perasaan nggak kenal,” ujar Mas Swanten.
“Kalau Mas Swanten nggak kenal sama pengirimnya, berarti Mas Swanten yang terkenal,” ujar Santri Ali.
“Fan kali, Mas?” sambut Mbak Mitayani.
“Boleh juga.”
Lagi, handphone Mas Swanten berbunyi. Sebuah pesan masuk.
“Masuk lagi, Mas Swanten. Waaah, panen SMS nih...,” goda Ni Luh Saraswati.
Mas Swanten cengengesan, “Asal bukan tagihan saja. Coba, ya. Ooh, temanku dari Sragen. Mas Sutiyatmoko Wardoyo. Sebentar, Mas Moko nulis, setelah Merapi meletus.... kok tiba-tiba ada letusan yang tak kalah dahsyatnya.... Saya tetap dukung Yogyakarta sebagai DIY... Sudah.”
“Naaah, itu notabene dari kawasan Eks Karesidenan Surakarta, Provinsi Jawa Tengah juga mendukung Keistimewaan Yogyakarta,” sambut Santri Ali.
Obrolan pun semakin gayeng. Topiknya semakin mengerucut pada persoalan RUUK (Rancangan Undang-Undang Keistimewaan) DIY yang tidak juga kunjung diselesaikan DPR RI dan Pemerintah Pusat.
“Kayaknya memang bakal diganjal,” celetuk Mbak Mitayani.
“Lebih tepatnya, buat ganjalan meja pimpinan DPR RI,” sambar Pakde Sastro Becak mulai sinis.
Santri Ali mesem kecut.
Lagi-lagi, sebuah pesan masuk ke ponsel Mas Swanten. Secepatnya Mas Swanten menyambar ponsel di atas toples rokok, “Nah, ini saya juga kenal. Beliau ini guide wisata Keraton. Namanya Pak Slamet Suwanto.”
“Apa Mas isinya?”
“Bener nih, kalian mau tahu isinya?”
“Ya iyalah. Siapa tahu ada hubungannya?”
“Ya, tentu. Lha wong guide Keraton? Sebentar kubacakan ya...,”
Semua mengangguk.
“Mbok digoleki wong partai sing gebeled ngising kepingin dadi gubernur neng Yogyakarta sapa?”
Mbak Mitayani terbelalak, “Alamaaak...?! Be’ol di Kali Code kali?!”
Semua pun tertawa.
“Apa sih, Mas Swanten, maksudnya?” bertanya Ni Luh Saraswati yang baru setahun tinggal di Yogyakarta.
Yang lain masih terbahak-bahak, “Aah, sampean pura-pura nggak tahu,” sambar Santri Ali di sela-sela tawanya.
“Maksudnya, siapa yang mau dikasih pisang? Gitu lho Mbak Luh” sahut Pakde Sastro Becak bercanda.
“Yang benar, Mas? Apa hubungannya?” tanya Ni Luh Saraswati tak yakin.
“Bener. Beliau itu guide Keraton. Memang isinya gitu,” bela Swanten, “Mau lihat sendiri?”
“Nggak! Percaya saja sama Mas Swanten. Tapi, apa betul artinya gitu? Yang dibilang Pakde Sastro tadi?!” kejar Ni Luh Saraswati penasaran.
Beberapa masih terkekeh-kekeh.
“Elok! Yang pro dan yang kontra bisa masuk ke hape Mas Swanten.”
“Itulah hebatnya Mas Swanten. Beliau ini mampu mengelola atau menampung semua suara. Sampai soal yang gebeled ngising tadi itu. Semuanya sama-sama menantang.”
“Terus terang, aku belum ngeh sama artinya pesan itu. Yang bener gimana sih?”
“Begini, Mbak Luh. Gebeled ngising itu kalau arti harfiahnya keburu pengin buang air besar. Nah, maknanya dalam konteks politik, ambisi ingin jadi gubernur di Jogja. Gitu, Mbak.”
“Ooh, sial Pakde Sastro Becak..!” keluh Ni Luh Saraswati merasa dikerjai, “Lha pisangnya?” kejarnya penasaran.
“Pisangnya biar dimakan orang partai yang berani menggantikan Sultan. Itu maksudnya. Ha ha ha ha...!” tukas Santri Ali.
“Iih, jorok ya?!” sembur Ni Luh Saraswati.
“Aah, embuuuh! Aku mau kerja. Mana sopnya, Mas?” sahut Mbak Mitayani.
Mas Swanten mengulurkan rantang yang sudah diisi sop panas, nasi, dan tempe goreng serta kerupuk. Tangan Mbak Mitayani yang bersih dan kuning langsat menerima rantangnya.
“Mangga semuanya...,” sapa Mbak Mitayani kepada pelanggan.
“Mangga, Mbak...!” sahut mereka serempak.
“Sebentar, Mbak Mita. Gimana rencana fasilitas hotspot buat warung Mas Swanten?” tanya Santri Ali menahan langkah Mbak Mitayani dan Ni Luh Saraswati.
“Ya, nanti kusampaikan juraganku,” sahut Mbak Mitayani.
“Oke, salam buat Tante Khusnul, ya, juragan paling baik dan berhati mulia,” tukas Santri Ali.
“Sayangnya aku nggak ada recehan. Udah ya...!” ucap Mbak Mitayani sembari menyambar lengan Ni Luh Saraswati meninggalkan warung Mas Swanten.
“Weeeh, aku tulus lho, Mbak...,” seru Santri Ali.
“Jadi, ini ceritanya SBY sudah menantang kita, kawula Ngayogyakarta Hadiningrat?” sungut Pakde Sastro Becak.
“Ya, bisa juga ada yang bilang, Sultan yang nantang SBY, ngajak referendum. Seperti SMS-nya Aris itu. Tinggal siapa yang melihat,” timpal Santri Ali.
“Gimana, Mas Swanten? Aku kok malah jadi bingung,“ keluh Pakde Sastro Becak.
“Ya, namanya politik, Pakde Sastro. Memang bikin bingung kita yang hanya rakyat jelata.”
“Mas Swanten juga bingung?” selidik Pakde Sastro Becak.
“Ya bingung. Saya kan juga kawula alit seperti sampean, Pakde?”
Pakde Sastro Becak terbahak-bahak.
“Sayang, cuma sepenggal-sepenggal begitu SMS-nya ya...?”
“Ya, pulsanya juga biar hemat, Mas Santri.”
“Ayo, tanggapi, Mas Swanten?” sambar Pakde Sastro Becak.
“Nggak punya pulsa...!”
Mereka terbahak-bahak.
“Kalau aku melihatnya gini. Orang Jogja kayaknya yakin, nggak akan ada orang yang berambisi dan berani mencalonkan diri jadi gubernur di provinsi DIY ini. Sementara yang lain juga menuntut hak politiknya. Supaya semua dapat hak yang sama. Bisa juga ujung-ujungnya pada persoalan hak politik untuk memimpin Jogja. Untuk sama-sama bisa jadi gubernur. Gitu ya, Mas Swanten?” pancing Santri Ali.
“Lha mangga saja. Berpendapat itu kan boleh saja.”
“Kalau pendapat Mas Swanten?” timpal Pakde Sastro Becak.
“Ini kan kalau di wayang, lakonnya Ratu Dadi Petruk,” urai Mas Swanten akhirnya.
“Lho, kok bisa gitu, Mas Swanten? Setahuku yang ada kan lakon Petruk Dadi Ratu?” sambar Santri Ali semangat karena ide orisinil sudah dilontarkan Mas Swanten.
“Lakon yang itu sudah lewat. Sekarang itu lakonnya Ratu Dadi Petruk. Presiden SBY itu kan rumangsane Ratu di Indonesia, menguasai Indonesia.”
“Padahal...?” pancing Santri Ali.
“Padahal ya... Petruk itu. Politiknya politik kantong bolong. Akhirnya, produknya ya Kabinet Kantong Bolong.”
“Lalu, mestinya gimana, Mas Swanten?”
“Aku tahu maksud Mas Swanten. Mungkin seperti Jimly yang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ya, Mas. Biarlah di Indonesia tetap ada yang istimewa, seperti Jogja. Bukankah Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika?”
“Ya, begitulah. Apa yang diomongkan SBY itu bisa bertentangan dengan UUD 1945 lho. Bukankah daerah istimewa juga sudah diakui di UUD?” ucap Gus Kusen yang lama berdiam.
“Memang, masalah ini ibarat asap, apinya berasal dari omongan SBY, dia bilang bentuk keistimewaan DIY seperti monarkhi. Itu harus diklarifikasi. DIY bukan monarkhi lha wong produk hukumnya melalui demokrasi. Padahal, sekian produk hukum, seperti Perda dan kebijakan lain di Jogja dari mekanisme politik di legislatif kan, Mas?” timpal Santri Ali.
“Ya, begitulah, Mas kalau dia rumangsane jadi Raja Indonesia. Sementara dia melihat Sultan hanya Raja di Jogja.”
“Berarti lakonnya yang benar, Semar Dadi Ratu, Mas Swanten? Pak SBY kan konon mengidentifikasi sebagai Semar?” pancing Gus Kusen.
“Ya, bisa saja. Di negeri kita kan bebas. Mau jadi Semar, Gareng, Petruk, apa Bagong, ya mangga saja...,” sahut Mas Swanten enteng.
“Tapi, Semar kan sudah dipakai Pak Harto?!” sela Pakde Sastro Becak.
“Bedanya sama Pak Harto, kalau Pak Harto itu Semar Mesem. Lha Pak SBY apa Semar Mendhem?” sahut Santri Ali.
“Bisa saja gitu. Mendhem itu kan mabuk. Mabuk pujian, pencitraan, sementara negerinya diosak-asik bencana,” sambut Mas Swanten.
“Ya, tapi jadi Raja di Indonesia kan juga hanya punya kesempatan dua kali periode. Setelah itu nggak boleh dipilih lagi,” ujar Gus Kusen.
“Kecuali istrinya maju nyapres. Terus kelak anaknya. Cucunya,” susul Pakde Sastro Becak.
“Tapi, kan bukan SBY lagi. Beda dengan Jogja,” sambar Santri Ali.
“Gimana Mas kalau Jogja?”
“Kalau Jogja, Sultan itu tetap Raja di Jogja. Meskipun sudah nggak jadi gubernur, misalnya.”
“Gitu ya, Mas? Lha mbok ya gitu aja, Mas?”
“Ya, sana sampean matur pada Ngarsa Dalem,” balas Mas Swanten.
“Kalau saya melihatnya agak lain, Mas Swanten.”
“Ya gimana, Gus Kusen?”
“Menurut saya, sekarang ini kan jamannya Senjakala Mataram. Sultan itu ibaratnya Kaisar terakhir. The Last Emperor. Ini juga karena tekanan modernisasi, rasionalisasi. Karena, sistem kerajaan itu sering larinya ke mistik, klenik, nggak rasional.”
“Begitu ya, Gus Kusen?”
“Siapa yang kuat melawan modernisasi? Dulu awalnya memang penguasa itu, yang celakanya banyak dari bangsawan, menindas rakyat. Maka, ada demokrasi, disusul modernisasi. Dan, dari kerajaan mau berbagi. Jadilah gayung bersambut. Akhirnya jadi seperti sekarang ini. Coba saja kita simak lagi awal-awal berdirinya republik. Dan, juga sejarah di dunia, cikal bakal tumbuhnya demokrasi.”
“Gitu ya, Gus Kusen?”
“Menurutku lho, Mas. Seingatku aku pernah baca buku ya seperti itu.”
Sunyi pun merayap. Diam. Tak ada yang bicara. Mereka seperti ingin merenungkan kalimat Gus Kusen.
Lagi-lagi, sebuah pesan masuk ke ponsel Mas Swanten. “Wah, kok bertubi-tubi? Padahal pulsaku belum isi ulang...,” celetuk Mas Swanten.
“Ya sudah dibaca saja, Mas Swanten. Pasti isinya masih ada hubungannya.”
“Ya, benar. Ini ya..., percayalah wahyu Mataram gaib akan bekerja dengan caranya sendiri untuk menyelesaikan soal keistimewaan DIY.”
“Waaah, klenik lagi...,” celetuk Santri Ali, “dari siapa, Mas?” korek Santri Ali.
Mas Swanten mesam-mesem, “Yang guide Keraton tadi. Pak Slamet.”
“Pantas...!” seru Santri Ali.
Pakde Sastro Becak terkekeh-kekeh. Gus Kusen manggut-manggut. Pembeli yang lain terpingkal-pingkal. ***

1 komentar:

  1. JIKA ANDA BUTUH ANGKA RITUAL 2D 3D 4D DI JAMIN 100% JEBOL BILAH BERMINAT HUB KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB THA,SK ROO,MX SOBAT

    JIKA ANDA BUTUH ANGKA RITUAL 2D 3D 4D DI JAMIN 100% JEBOL BILAH BERMINAT HUB KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB THA,SK ROO,MX SOBAT


    JIKA ANDA BUTUH ANGKA RITUAL 2D 3D 4D DI JAMIN 100% JEBOL BILAH BERMINAT HUB KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB THA,SK ROO,MX SOBAT

    BalasHapus