mangkya darajating praja - kawuryan wus sonya ruri - rurah pangrehing ngukara - karana tanpa palupi - ponang parameng kawi - kawileting tyas maladkung - kungas kasudranira - tidem tandaning dumadi - ardayeng rat dening karoban rubeda - R Ng Ranggawarsita - adapun martabat negara - kini terlihat sunyi senyap - aturan dan bahasa kacau - sedangkan para penyair - dibenam sesapan duka cinta - habis sudah keberanian mereka - padam sudah tanda-tanda kehidupan - dunia terasa disesaki petaka

Rabu, 24 November 2010

Ramalan

PERCAYAKAH Anda pada ramalan? Apakah ramalan bersifat fakta? Ataukah hanya imajinasi? Saya pernah menanyakan hal ini kepada beberapa kawan. Banyak yang tidak percaya. Tidak sedikit pula yang mengaitkannya dengan masalah keimanan dan melakukan penilaian. Seingat saya, ada kawan yang lebih terbuka. Waktu itu ia menjawab: ramalan akan bersifat fakta bila kita meyakini akan terjadi di kemudian hari. Sebaliknya, ramalan hanya imajinasi belaka jika kita tidak meyakini akan terjadinya hal itu.
Saya pun mengangguk saja. Memang, percaya atau tidak percaya, believe it or not, sebuah ramalan tidak lebih sebagai proses perhitungan spekulatif. Nilai probabilitasnya tinggi. Sama juga dengan ketidakmungkinannya. Boleh jadi semacam firasat atau isyarat, bagaimana kita akan meyakini kebenarannya? Isyarat atau firasat baru diakui kebenarannya bila ditemukan signifikansinya dengan fakta atau peristiwa yang sudah benar-benar terjadi, bukan? Tetapi, ingatkah Anda, kejatuhan Soeharto pada Mei 1998 sudah diramalkan tiga tahun sebelumnya oleh Permadi?
Di sebuah seminar di Yogyakarta, Permadi mengutarakan prediksi politiknya. Ia mengatakan, akan terjadi suksesi setelah 1997. Prediksi tersebut mungkin tidak terlalu berbahaya. Namun, dalam sebuah sesi dialog Permadi terjebak menjawab pertanyaan dari seorang peserta hingga mengarah pada ranah SARA (Suku – Agama – Ras – Antargolongan). Beberapa hari setelah menyampaikan prediksinya itu, Permadi ditangkap aparat keamanan. Polisi berdalih, Permadi telah memasuki area SARA dari materi yang diucapaknnya. Sebagian ucapan Permadi memang terpeleset pada persoalan ajaran agama tertentu. Sekitar dua bulan atau dua pekan sebelum Permadi melontarkan prediksinya di forum seminar, sebenarnya ia sudah mengungkapkannya dalam sebuah talkshow yang disiarkan di sebuah radio juga di Yogyakarta. Namun, aparat tiada bukti untuk memproses verbal.
Permadi pun diproses, diadili, dan masuk bui. Sementara waktu terus bergulir. Dan, terbukti –atau entah hanya kebetulan belaka, kepemimpinan Soeharto menuai protes dan menimbulkan reaksi mahasiswa menggelar gerakan demonstrasi besar-besaran. Klimaksnya adalah tuntutan mahasiswa mendesak Soeharto pensiun. Maka, Soeharto pun terpaksa menyadari posisinya sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat. Soeharto akhirnya memenuhi tuntutan mahasiwa, ia mundur pada 21 Mei 1998. Bukankah 1998 adalah angka setelah 1997, angka yang diramalkan Permadi?
Dari masa lalu kita bisa menyimak materi ramalan yang disampaikan para pujangga. Kita tentu tidak asing dengan ramalan Jayabaya, raja Kediri. Materi ramalan Jayabaya seputar masa sejumlah kerajaan dan pencapaian kejayaan serta pasang surutnya. Sampai memasuki abad ke-19 pujangga Ranggawarsita pun mengeksplorasi kemampuan meramal. Termasuk salah satu ramalannya yang tepat: emating pati patitis, yakni ketika Ranggawarsita meramalkan kematiannya sendiri di serat Sabda Jati. Untuk kasus ramalan tentang kematian pujangga legendaris yang sangat tepat perhitungannya itu, ada yang menganalisis hal itu sebenarnya sudah diketahui oleh sang pujangga. Alasannya, Ranggawarsita sudah diberitahu lebih dahulu karena hari kematiannya adalah pelaksanaan eksekusi hukuman mati yang dikenakan oleh Belanda. Kemungkinan lain, informasi tersebut merupakan sisipan yang ditulis oleh pujangga lain pascakematian Ranggawarsita.
Kembali pada materi ramalan. Bisakah kita membatalkan sebuah ramalan? Seperti misalnya, seandainya Permadi tidak ditangkap polisi, apakah ramalannya tidak mustajab? Sebaliknya, seandainya Permadi tidak melontarkan hasil ramalannya itu, apakah suksesi tetap terjadi dan kekuasaan Soeharto memang sudah ditakdirkan jatuh melalui proses reformasi? Allahu a’lam.
Baiklah, katakanlah kemampuan meramal Permadi di atas terbilang biasa. Sekarang, bagaimana dengan pertunjukan ilusionis Deddy Corbuzier yang merekam suaranya di dalam sekeping kaset kemudian kaset itu diamankan dan dijaga ketat oleh petugas pengaman di Tugu Monas. Lebih dari sepekan kemudian kaset itu dibuka dan dihidupkan dengan tape recorder. Dan, isi suara rekaman Deddy ternyata persis sama dengan materi headline di sebuah koran nasional, yang memberitakan pernyataan Megawati Soekarnoputri, waktu itu sebagai Presiden, yang disampaikan di Singapura.
Bila dibandingkan, “ramalan” a la Deddy tidak kalah pelik dan kompleks dengan ramalan Permadi. Pada Deddy karena menyangkut institusi sebuah industri media informasi. Tentu akan sangat sulit kalaupun seseorang bisa mendikte redaksi, lebih-lebih dalam menentukan deadline. Selain itu, lebih sulit lagi bila dikaitkan dengan eksistensi Mega sebagai Presiden. Dalam hubungannya dengan permainan ilusionis Deddy, tentu saja Deddy tidak bermaksud mendikte pikiran Megawati, bukan? Tidak juga mengintervensi kebijakan redaksi koran?
Sekarang bagaimana dengan upaya atau ikhtiar yang dilakukan untuk membatalkan sebuah materi ramalan agar tidak terwujud? Perihal upaya atau ikhtiar membatalkan terwujudnya ramalan juga banyak dilakukan orang. Sebagian yang bisa kita simak dari kisah-kisah para bangsawan di Yunani, misalnya Julius Caesar yang mengabaikan ramalan, bahwa kekuasaannya akan dijatuhkan pada pertengahan Maret, akhirnya benar-benar terjadi. Demikian juga ikhtiar yang dilakukan Raja Thebes, yang membuang bayi Oeidhipus lantaran orakel meramal si bayi kelak akan membunuh dirinya dan mengawini permaisurinya. Alih-alih untuk menghindari terwujudnya ramalan buruk dari orakel, ikhtiar pembuangan bayi Oeidhipus justru menjadi jalan terwujudnya ramalan orakel.
By the way, seseorang pernah menyampaikan semacam ramalan tentang saya. Anehnya, orang itu –kebetulan perempuan, menyampaikannya melalui istri saya. Padahal, di antara kami tidak saling mengenal. Kata istri saya, mereka bertemu kebetulan saja, sewaktu istri saya menunggui anak kami yang dirawat inap di sebuah rumah sakit. Si “peramal” itu mengatakan beberapa hal yang akan saya alami, sekitar lima tahun kemudian terhitung dari waktu itu. Antara lain berkaitan dengan karier saya. Sebagai penguat untuk menjelaskan kemampuannya, si “peramal” juga mengilustrasikan letak kantor dan arah pintu kantor saya serta beberapa hal terkait wilayah di Provinsi Jawa Tengah sebagai tempat saya pernah mendapatkan tugas dari kantor. Istri saya pun was-was mendengar ramalannya tadi sehingga ia berusaha keras melupakannya dan tidak menceritakannya kepada saya. Kami pun mengalami pasang surut kehidupan berumah tangga. Lima tahun kemudian, setelah saya berhenti bekerja di kantor formal, baru istri saya teringat pada ramalan itu dan mengatakannya kepada saya.
Mungkin masalahnya bukan sekadar percaya atau tidak percaya pada ramalan. Sebagian orang yang mengklaim dirinya sebagai rasionalis akan mengaku tidak percaya pada ramalan. Sebaliknya, orang yang kelihatan membenci sesuatu yang dinilai klenik, sebenarnya belum tentu juga tidak percaya pada ramalan. Masalahnya, orang yang diberi kelebihan bisa meramal tentu juga tidak memperolehnya dengan tiba-tiba, seperti mendapat durian yang terjatuh dari keranjang di jalan. Kemampuan tersebut tentu diperoleh melalui proses panjang yang dikenal dengan istilah laku. Celakanya, orang lebih banyak yang suka melalui jalan pintas. Mereka malas menggembleng fisik dan raganya melalui proses. Padahal, masa penggemblengan tersebut sebagai bagian dari pematangan jiwa.
Sekarang, seandainya kita mendengar seseorang menyampaikan sebuah ramalan, bagaimana sikap kita? Di luar masalah percaya atau tidak percaya, saya pikir kita lebih baik bersikap: padha guru aja ngganggu, padha referensi aja ngrusuhi (bila kebetulan memperoleh ilmu dari guru yang sama hendaklah jangan saling mengganggu, sementara kalau kebetulan ada kesamaan referensi, hendaklah jangan saling merecoki –RTS).
Sampai di sini, sekarang bagaimana dengan Anda? Percayakah Anda pada ramalan? (R. Toto Sugiharto)

2 komentar:

  1. artikel yang sangat menarik.
    pada dasarnya, percaya dan tidak percaya tergantung keyakinan kita masing-masing.
    secara pribadi, saya tidak percaya dengan ramalan.
    Alangkah singkatnya hidup ini jika diramal oleh sesama manusia yang berambut hitam. banyak orang menggunakan metode-metode mereka sendiri dalam meramal seseorang. nah, yang menjadi pertanyaan saya adalah; kenapa orang yang meramal tidak bisa jadi Presiden,kepala daerah atau orang yang berkuasa di negerinya? bukankah dia memiliki cara dan kekuatan tersendiri untuk menentukan nasib hidup orang?

    maaf kalau saya keliru, Pak.

    BalasHapus