mangkya darajating praja - kawuryan wus sonya ruri - rurah pangrehing ngukara - karana tanpa palupi - ponang parameng kawi - kawileting tyas maladkung - kungas kasudranira - tidem tandaning dumadi - ardayeng rat dening karoban rubeda - R Ng Ranggawarsita - adapun martabat negara - kini terlihat sunyi senyap - aturan dan bahasa kacau - sedangkan para penyair - dibenam sesapan duka cinta - habis sudah keberanian mereka - padam sudah tanda-tanda kehidupan - dunia terasa disesaki petaka

Jumat, 26 November 2010

Pencuri di Gubuk Rabi’ah

SEORANG pencuri gelisah. Ia meninggalkan anak dan isterinya dengan sisa makanan hanya untuk sehari itu. Sementara waktu sudah merambat malam, ia belum mendapatkan barang curian.
Mendadak seorang lelaki tua menyapanya, “Hai! Kulihat kamu gelisah?”
“Betul, Tuan. Saya meninggalkan anak dan istri saya. Tak ada makanan di rumah.”
“Kamu pencuri, bukan?”
“Tuan tahu? Benar, Tuan.”
“Masuklah ke gubuk Rabi’ah Al Adawiyah. Kau bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan.”
Pencuri itu berseri-seri, “Begitu, Tuan? Setahuku, beliau memang tokoh termasyhur di negeri ini.”
“Sudahlah. Waktu keburu malam. Segeralah ke sana.”
“Terima kasih, Tuan,” tukas Pencuri itu menunduk dalam-dalam. Ia pun bermaksud menyalami lelaki tua itu, namun ternyata ia begitu saja raib dari hadapannya.
Pencuri itu pun bergegas menuju gubuk Rabi’ah. Ia memasuki gubuk itu. Pencuri itu tidak menemukan sesuatu yang dianggapnya berharga, kecuali sebuah kendi air. Ia pun bermaksud meninggalkan gubuk Rabi’ah.
Namun, Rabi’ah menangkapnya basah dan memanggilnya, “Hai...! Jika kamu pencuri sejati, kamu tidak akan pergi tanpa mengambil sesuatu.”
Pencuri itu menyahut dengan nada menghina, “Memang ada yang bisa kuambil?”
Rabi’ah menjawab, “Dasar pencuri miskin...! Ambillah air wudhu dari kendi itu. Masuklah ke ruang sujud. Shalatlah dua rakaat. Setelah itu kamu boleh pergi setelah kamu menerima sesuatu.”
Pencuri itu heran. Tapi, ia menurut saja, mengambil air dari kendi, berwudhu, dan memasuki ruang sujud di sudut gubuk Rabi’ah.
Saat si pencuri bertakbir, Rabi’ah pun mengangkat kedua tangannya dan menengadah ke langit-langit, “Tuhan, orang ini tidak menemukan apa-apa di gubuk ini. Karena itu, aku membawanya ke Pintu-Mu. Berikanlah kepadanya karunia dan rahmat-Mu....”
Pencuri itu terbenam dalam kehangatan aura spiritual di gubuk Rabi’ah. Ia pun melanjutkan shalatnya, melanjutkan lagi, dan lagi, hingga sepanjang malam. Sampai dini hari.
Saat subuh, Rabi’ah pun terbangun. Ia menemukan si pencuri masih bersujud, memohon ampunan dari-Nya. (RTS/sumber: Seyyed Hossein Nasr (Ed), 1987, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Bandung: Mizan: 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar