mangkya darajating praja - kawuryan wus sonya ruri - rurah pangrehing ngukara - karana tanpa palupi - ponang parameng kawi - kawileting tyas maladkung - kungas kasudranira - tidem tandaning dumadi - ardayeng rat dening karoban rubeda - R Ng Ranggawarsita - adapun martabat negara - kini terlihat sunyi senyap - aturan dan bahasa kacau - sedangkan para penyair - dibenam sesapan duka cinta - habis sudah keberanian mereka - padam sudah tanda-tanda kehidupan - dunia terasa disesaki petaka

Selasa, 23 November 2010

Writing Tresna jalaran saka Kulina

Judul di atas merupakan bentuk pelesetan dari pepatah bahasa Jawa: witing tresna jalaran saka kulina. Maksudnya, tumbuhnya rasa cinta adalah buah dari intensitas pengenalan kepribadian. Secara tersirat ungkapan itu menekankan betapa penting sebuah proses dan kesetiaan menjalani proses tersebut.
Menjadi penulis juga harus ditempuh melalui proses. Perjalanannya bisa mulus dan lancar bagai jalan tol. Bisa pula sebaliknya, penuh liku, tikungan, dan tanjakan berbatu berikut turunan licin. Menjalani proses juga membutuhkan kesetiaan dan kecintaan pada komitmen. Maka, makna dari pelesetan judul di atas bisa dipahami demikian: kepiawaian menulis niscaya dapat dicapai jika dijalani dengan intensif dan penuh cinta.
Esai ini tentu saja tidak dalam konteks promosi bahwa dengan menjadi penulis maka kekayaan material juga berlimpah ruah. Kekayaan material atau mungkin juga sebaliknya adalah implikasi dari sebuah proses. Dalam kasus ini banyak juga orang yang terjebak pada anggapan, bahwa menjadi penulis idealis akan menanggung kehidupan yang kering secara material. Sebaliknya, dengan menjadi penulis komersial akan tercapai masa depan yang lebih menjanjikan. Tidak selalu demikian alurnya. Sebab, kenyataan lebih sering serba tidak terduga.
Meskipun demikian, ada kenyataan yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap penulis, yakni kepiawaian hanya dapat diraih setelah melalui proses. Ibarat buah yang masak di tangkai sebatang pohon tentulah melalui proses penyerbukan dibantu angin, burung atau serangga, semasa masih sebagai bunga. Hanya saja, hitungan rentang waktu dalam proses tentu berbeda-beda pada setiap personal. Hal itu bergantung pada variasi pengalaman empiris pada masing-masing orang.
Satu hal yang perlu dipahami, sebagai sebuah proses, menulis adalah sebuah jalan atau laku. Ibaratnya seperti Takezo alias Musashi, seorang samurai dari tokoh novel Musashi karya Eiji Yoshikawa, yang setia hidup di jalan pedang tetapi ia tidak lupa senantiasa mengevaluasi diri melalui pena. Artinya, substansi dari hidup yang dijalani Musashi adalah jalan pedang dan menulis sebagai media pencerahan.
Sekarang kita mungkin sudah merasa lebih mantap menempuh hidup di jalan pena sebagai penulis. Sebagian di antara kita mungkin sudah melalui proses di jalan yang berliku dan sudah pula menuai hasilnya. Sebagian yang lain mungkin masih dalam proses yang belum selesai. Sementara sisanya menganggap kehidupannya sebagai penulis bagai Sisiphus yang dikutuk dewa menaikkan sebongkah batu ke puncak gunung dan batu itu turun kembali untuk digelindingkan ke puncak lagi.
Proses mengidentifikasi diri bagai Sisiphus atau ibarat tokoh mitologi lainnya boleh jadi karena terkait pada konteks pengalaman personal seorang penulis serta perspektif yang dimilikinya dalam menafsirkan eksistensi diri. Tetapi, hakikat dari eksistensi penulis tetaplah sebagai orang biasa. Tumbuhnya kesadaran tersebut juga melalui rentang waktu panjang. Dahulu kala dalam tradisi budaya tulis dengan media lontar, menulis adalah proses transendensi melibatkan campur tangan dewa. Di kemudian hari, seiring terjadinya perkembangan rasionalitas manusia, menulis adalah proses kreatif biasa. Kreativitas imajinasilah yang melambungkan seorang penulis hingga memiliki visi tertentu. Ana Blandiana dari Rumania misalnya, berhasil mengoptimalkan visi profetisnya melalui cerpen pendek (short short story) sepanjang sembilan paragraf yang mengisahkan seorang narapidana yang kabur dari penjara melalui lukisan jendela terbuka di dinding penjara. Lukisan dinding penjara yang digambar oleh si narapidana menjadi media pelatuk visi profetisnya. Tetapi, pencapaian tersebut tentu dilandasi kreativitas imajinasi. Adapun visi profetisnya sebagai penyair, Ana Blandiana hendak mengingatkan kepada rezim komunis yang berkuasa di negerinya saat itu, bahwa imajinasi tidak bisa dipenjara.
Visi profetis dapat dicapai secara optimal apabila seorang penulis berhasil menemukan signifikansi antara eksistensi dirinya dengan konteks zamannya. Karenanya, seandainya makna sebuah karya tidak perlu dicari-cari maka setidak-tidaknya masyarakat pembaca menemukan signifikansi antara hasil karya dengan situasi waktu penciptaannya. Dalam bahasa yang sederhana, Rendra, Si Burung Merak jauh hari telah mengingatkan, perlunya seorang kreator manjing ing sajroning kahanan, yang oleh Bakdi Soemanto diterjemahkan “selalu hadir dalam konteks”.
Dalam literatur klasik pada tradisi kapujanggan, sebagian besar pujangga istana di tanah Jawa juga memiliki kesadaran hadir dalam konteks yang membuahkan visi profetis. Salah satu pujangga yang keharuman namanya melegenda adalah Raden Ngabehi Ranggawarsita melalui serat-serat, prosa liris bermetrum dalam bahasa Jawa. Dari goresan tintanya di serat-serat-nya, Ranggawarsita mengilustrasikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, yang disebutnya zaman Kalabendu, suatu masa yang dipenuhi duka derita dan bencana. Terlepas apakah kenyataan yang terjadi di masa sekarang sebagai kebetulan ataukah memang buah dari kepiawaian sang pujangga membaca kemungkinan masa depan, saat ini sudah terjadi bencana demi bencana di berbagai wilayah tanah air.
Kita yang masih menjalani proses menempuh hidup di jalan pena, sekarang ini hanya bisa meneladani dari sejumlah tokoh di masa lalu dan para perintis yang melontarkan gagasan-gagasan pencerahan. Kita tinggal menghidup-hidupkan gagasan-gagasan tersebut atau bila perlu mengabstraksikannya sebagai “ideologi alternatif” dalam proses rewrite atau re-kreasi untuk membedakannya dengan proses reproduksi teks. Artinya, dalam proses rewrite lebih dijiwai semangat reaktualisasi dan rekonstruksi atau sebaliknya, dekonstruksi dengan perspektif baru. Sedangkan dalam proses reproduksi teks semata-mata hanya pencekokan atau indoktrinasi.
Kesadaran demikian mestilah senantiasa dibangkitkan sebagai penumbuhan etos kerja kreatif menjadi penulis. Sehingga, produk dari karya kita tidak semata-mata reproduksi teks seperti hasil kerja seorang tukang oplos. Sebab, menempuh hidup di jalan pena tidak dimaksudkan hendak membangun rezim penulis, melainkan memperkaya ruas jalan pencerahan.
Kesetiaan menjalani proses mencerminkan sebuah keutamaan dalam merawat intensitas dan menjaga komitmen. Untuk mempertahankan kesadaran tersebut membutuhkan perjuangan keras karena dari waktu ke waktu setiap pribadi dihadapkan godaan yang akan membelokkan visi hingga seorang penulis tergelincir pada proses kejatuhan eksistensial. Salah satu upaya memerjuangkan komitmen adalah dengan sikap independen. Komitmen akan tetap terjaga apabila penulis tidak menjadi oportunis. Dalam hal ini kita mungkin patut meneladani novelis Inggris, George Orwell. Karena, hanya dari sikap independen, penulis tidak hanya merepresentasikan situasi zamannya, melainkan mengingatkan pembaca melalui ketajaman visi profetisnya. Melalui novel futuristiknya, 1984, Orwell mengetuk hati dan otak pembaca tentang kemungkinan sejarah masa depan yang melahirkan rezim totalitarian. Irving Howe, dalam  Politics and The Novel (1967) melukiskan, dalam novel 1984 Orwell memproyeksikan sebuah mimpi buruk dalam kehidupan politik yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan negara yang melemahkan rakyat. Irving Howe mengasumsikan novel 1984 adalah buku antipolitik yang sangat mendalam, penuh kebencian terhadap kekuasaan yang menghancurkan kehidupan pribadi.
Negeri totaliter yang dilukiskan Orwell adalah negeri yang dikendalikan sistem sosialisme. Tetapi, sebelum kematian menjemputnya, Orwell menegaskan, bukunya tidak dimaksudkan menyerang sosialisme atau Partai Buruh di Inggris yang berkuasa saat itu. Orwell mencoba menghadirkan kemungkinan dunia yang dikuasai individu dengan sense of humanity-nya yang usang dan berkepribadian jahat.
Orientasi Orwell tentu untuk melukiskan kemungkinan sejarah masa depan sebagai mimpi buruk manusia. Novel 1984 mengisahkan negeri Oceania yang ditulis Orwell pada 1948 dan terbit setahun kemudian. Ada sebuah negeri diapresiasi Orwell dalam novel tersebut, yaitu etnis Jawa dan kepulauan Indonesia. Kekuatan sosialisme saat itu memang nyaris mendunia. Tetapi, yang akhirnya menguasai sistem politik di negeri kita justru kapitalisme.
Sebelum mengakhiri esai ini, saya ingin menjelaskan, motif penulisan esai ini tidak muluk-muluk. Saya hanya hendak mengajak pembaca mengenali dunia kreatif, dunia tempat hunian penulis. Sementara bagi penulis, tulisan ini diharapkan dapat mengukuhkan keyakinan dan komitmen menjaga intensitas dalam proses kreatif dengan penuh kecintaan. (R. Toto Sugiharto)

2 komentar:

  1. Masalahnya, agar kita bisa "kulino" (terbiasa) menulis itu perlu "laku" sehingga dibutuhkan "writing-writing" yang lain. Misalnya, "writing kulino jalaran soho dicobo" (Terbiasa menulis itu karena sering dicoba). Yang lebih populer lagi, "writing kuleno jalaran soho ngeblog", makanya mari kita nge-"blog" dengan penuh cinta...hehehe.

    BalasHapus
  2. Sing luwih akeh ki, witing tresno jalaran soko gambar manuk (nyilih dhagelane konco2 pas SMA mbiyen). Wong saiki gelem nulis, yen ono gambar manuke, wong wadon gelem dirabi yo yen gedhe manuke. Arep nresnani kerjane, sing didelok dhisik yo gambar manuke.

    BalasHapus